Batik ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia. Penggunaan batik secara mengglobal telah membuat keanekaragaman budaya Indonesia diakui di level internasional. Kampung Batik adalah sentra batik di Semarang yang terkenal akan perjuangannya mempertahankan nilai kebudayaan melalui pelatihan batik. Arus globalisasi yang kuat tidak meluputkan semangat para pengrajin batik di Kampung Batik untuk mempertahankan nilai kebudayaan membatik demi mewariskan ilmu membatik ke generasi berikutnya.
Pelatihan membatik yang rutin dilakukan ternyata memberikan pengaruh yang besar terhadap banyak wisatawan domestik dan internasional. Mempertahankan kebudayaan membatik sangat berperan penting dalam menjaga kelestarian batik. Oleh karena itu, tulisan ini berisikan kisah historis Kampung Batik yang dilengkapi dengan pemaparan alasan-alasan mengapa kebudayaan membatik masih tetap lestari. Metode yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Hasil yang diperoleh adalah kebudayaan membatik tetap terlestari di Kampung Batik karena adanya nilai kebudayaan yang tetap dipertahankan dan edukasi membatik yang diselenggarakan dari tingkat usia muda hingga tua. Keinginan kuat dari pengrajin batik untuk mentransfer ilmu telah membuahkan hasil dengan banyaknya wisatawan asing yang telah berkunjung ke Kampung Batik.
Menurut observasi dari lapangan dan wawancara terhadap narasumber di lapangan, Kampung Batik ini hanya terdiri dari RW 01 dan 02 saja yang masih aktif membatik. Uniknya lagi ada satu RT yang dinamakan “Kampung Jadul” rutin sekali mengadakan pelatihan membatik dan aktif untuk melestarikan kebudayaan membatik karena kearifan lokalnya juga kuat. Kampung Jadul ini merupakan hasil dari kekuatan inisiatif warga yang dimulai sekitar tahun 2013 hingga 2015, penduduk hendak mengubah citra dari yang negatif (kumuh dan berbahaya) menjadi positif (khususnya dalam aspek kebudayaan).
Secara resmi pada tanggal 29 April 2017 Kampung Jadul pun diresmikan oleh Lurah. Pak Lui bersama dengan warga memiliki semangat gotong royong yang besar untuk membangun kampung dengan cara mengecat dengan motif batik tembok-tembok dan membuat ragam motif batik di Kampung Jadul, alhasil warga dari kalangan usia muda hingga tua memiliki keinginan yang besar untuk menguatkan kapabilitas dalam membatik dan melestarikan kebudayaan membatik. Motto yang dimiliki adalah KPK yaitu singkatan dari K (Kerjasama), P (Perubahan), dan K (Kepedulian). Fokus utamanya adalah budaya membatik, edukasi, sejarah dan kearifan lokal.
Istilah toponim kampung batik muncul pada tahun 1476 bersamaan dengan bubakan yang artinya adalah membuka sebidang tanah untuk pemukiman. Penamaan Kampung Batik ini juga diambil dari profesi warga, meskipun saat ini tidak semua membatik namun sejarah penamaan ini berdasarkan dari kisah sejarah. Secara historis, di abad ke-19 sudah terjadi pengenalan batik di Semarang, ada dua orang Indoeropa yang berkontribusi besar dalam sejarah batik Semarang, yaitu Nyonya Ossterom dan Fraquemint, mereka melakukan workhosp mengenai batik di wilayah Semarang.
Pada tahun 1925, terjadi perubahan yang sangat pesat dalam industri kerajinan batik, pasalnya dari tahun 1919 hingga 1925 terjadi peningkatan dari 25-107. Hal ini diakibatkan karena adanya krisis ekonomi yang terjadi kala itu pasca Perang Dunia I, impor tekstil dari India, Belanda, dan Inggris pun terhenti, oleh karena itu masyarakat berusaha untuk tetap hidup untuk mencukup kebutuhan sehari-hari dengan cara membatik untuk melahirkan beragam motif yang dikehendaki. Seiring berjalannya waktu, kondisi di Semarang ternyata masih tidak aman karena pada tahun 1942 tentara Jepang hendak masuk ke Semarang, Belanda memberikan arahan untuk membumihanguskan wilayah yang memiliki potensi ekonomi dan salah satunya adalah Kampung Batik.
Tidak berhenti disitu saja, meskipun Jepang sudah menyerah, ternyata pada tahun 1945 masih terjadi bentrokan pemuda, hal ini menyebabkan terjadi pembakaran di kampung-kampung yang ada di Semarang, Kampung Batik juga menjadi target dari peristiwa ini. Kemudian, pada tahun 1950 hingga 1980an sempat terjadi beberapa kali usaha untuk membangun usaha membatik namun gagal dan sempat kegiatan membatik terhenti. Akhirnya, pada tahun 2006 di Kampung Batik dilaksanakan pelatihan membatik yang diprakarsai oleh Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) dan Pemkot Semarang, hal inilah yang menjadi cikal bakal eksisnya Kampung Batik hingga sekarang.
Keinginan untuk melestarikan tradisi membatik dari para leluhur tertanam sangat kuat di masyarakat Kampung Batik khususnya pengrajin, tujuan ini terimplikasi dengan baik pula ketika sudah banyaknya bantuan yang hadir di Kampung Batik untuk pelatihan-pelatihan agar dapat meneruskan misi mulia ini. Jiwa pembatik tetap bertahan hingga sekarang, karena bagi para pengrajin seperti Pak Dodo dan Bu Ifah, mereka merasa terpanggil untuk tetap menjaga tradisi membatik karena nenek moyang mereka juga dahulunya adalah pembatik dan menghargai jasa nenek moyang yang telah membuat Kampung Batik hadir hingga saat ini. Kondisi lapangan menunjukkan bahwa banyak sekali sebenarnya masyarakat Kampung Batik yang profesi sebagai berdagang dan pengrajin, namun tidak semua mengerti hal-hal yang berkaitan dengan ilmu membatik, makna filosofis dan sejarah dari membatik karena tujuannya adalah berdagang.
Pak Dodo sebagai salah satu pengrajin dan memahami ilmu membatik mengatakan bahwa para pengrajin yang memahami ilmu membatik terbilang hanya sedikit yaitu terdiri dari Pak Dodo, Ibu Ifah, Bu Lui, Pak Eko dan Bu Rini. Sementara yang masih aktif membatik adalah Ibu Elisabeth, Ibu Ifah, Ibu Monik, Ibu Rini, dan Pak Dodo.