Hujan sering menjadi hal yang ditunggu-tunggu dan menyenangkan. Di tengah terik matahari, turunnya hujan memberikan kesejukan dan kenyamanan. Suara tetesan hujan yang mengalun dan aroma hujan yang membasahi bumi dianggap banyak orang memberi ketenangan dan perasaan damai. Tapi, apakah hujan selalu menjadi hal yang menyenangkan bagi semua orang? Nyatanya, bagi masyarakat kurang mampu hujan tidak selalu menyenangkan. Hujan dapat menyebabkan environmental stress bagi masyarakat kurang mampu. Environmental stress adalah kondisi ketika manusia tidak dapat beradaptasi menghadapi lingkungan dan mengalami ketidaknyamanan (Steg & Groot, 2019). Ketidaknyamanan dalam hal ini dapat berdampak pada psikologis ataupun fisiologis yang mengganggu kesejahteraan individu. Mengapa hujan dapat menjadi environmental stress bagi masyarakat kurang mampu? Simak pembahasannya berikut ini!
Hujan = Banjir
Hujan yang turun berlebihan dapat menyebabkan banjir dan juga tanah longsor. Hal ini mungkin tidak terlalu berdampak pada masyarakat menengah ke atas dikarenakan lingkungan perumahan yang tidak berada di daerah rawan. Namun pada individu yang tinggal di daerah perumahan yang buruk, hujan yang turun selama beberapa jam dapat menyebabkan banjir. Di Indonesia sendiri tercatat ada sekitar 76 juta jiwa tinggal di zona yang berisiko banjir tinggi atau 1 dari 4 orang Indonesia (Rentschler et al., 2021). Sebagian besar dari mereka merupakan masyarakat kurang mampu yang tinggal di rawan banjir, mereka memilih tinggal di daerah tersebut karena harga properti yang relatif murah.
Banjir yang melanda perumahan masyarakat kurang mampu menyebabkan barang-barang mereka terendam, akses transportasi terbatas, sulit mendapatkan air bersih, dan bahkan bisa menyebabkan korban jiwa. Tidak hanya itu, banjir juga menyebabkan hewan-hewan seperti kecoak dan tikus masuk ke rumah-rumah karena saluran air yang merupakan habitat mereka terganggu. Ketika banjir sudah surut pun dampaknya masih terasa, masyarakat masih harus membersihkan rumah yang penuh dengan lumpur dan kotoran yang di bawa oleh air banjir, mengganti perabotan-perabotan rumah yang rusak dan lain-lain.
Belum lagi dampak psikologis yang mereka alami, individu yang tinggal di perumahan yang buruk dapat mengalami stress dan bahkan dapat menjadi depresi (Steg & Groot, 2019). Sebagian besar individu yang tinggal di daerah yang sering mengalami banjir juga melaporkan masih mengalami kecemasan dan bahkan sebagian kecil mengalami gejala kecemasan ekstrem, hal ini menunjukkan banjir dapat menjadi ancaman jangka panjang terhadap kesehatan mental (Lamond et al., 2015). Tidak hanya dampak psikologis, banjir juga mendatangkan berbagai macam penyakit pasca banjir seperti: demam berdarah (DBD), leptospirosis, influenza, tipes, diare, dan penyakit kulit (Kemenkes, 2022).
Hujan = Dingin dan Lembab
Hujan yang turun juga menyebabkan perubahan suhu dari yang awalnya panas dan kering menjadi dingin dan lembab. Bagi kebanyakan orang mungkin suhu yang dingin lebih nyaman dibandingkan suhu panas. Namun, untuk masyarakat kurang mampu yang tinggal di pemukiman yang buruk hujan adalah hal yang tidak dinanti-nanti. Atap yang bocor dan dinding yang tipis sudah pasti menjadikan rumah sebagai tempat yang tidak nyaman ketika hujan turun. Selain itu, hujan juga dapat merusak perabotan rumah tangga dan rumah yang lembab menimbulkan jamur sehingga kondisi tempat tinggal semakin buruk. Dinding tipis tidak mampu menghadang angin dingin dan menyebabkan dingin yang terasa menusuk kulit. Kelembaban menimbulkan ketidaknyamanan (Bechtel & Chruchman, 2002). Selain itu, tingkat kelembapan yang tinggi juga memiliki dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan dan suasana hati seseorang (Nautiyal & Deorari, 2023). "Kalau hujan sih saya sama istri, anak, sering gak bisa tidur. Karna tempias, udah gitu kan atap pada bocor kena ke kasur, basah-basah gitu jadi ga nyaman." ungkap seorang pemilik warung yang merupakan tetangga dari penulis dari sebuah wawancara singkat dengan penulis.
Hujan = Sulit Mencari Nafkah
Sebagian besar masyarakat kurang mampu mencari nafkah di luar ruangan terbuka, mulai dari pedagang keliling, petani, kuli bangunan, pemulung, dan masih banyak lagi pekerjaan luar ruangan yang dijadikan sumber nafkah untuk masyarakat kurang mampu. Turunnya hujan menyebabkan masyarakat kurang mampu sulit untuk mencari nafkah. Padahal sebagian besar masyarakat kurang mampu mengandalkan penghasilan sehari-hari untuk bertahan hidup. Hal ini dikonfirmasi dari pernyataan pedagang kopi keliling atau yang biasa sering disebut starling dalam wawancaranya dengan detikfinance bahwa omset hariannya selalu menurun ketika hujan turun, ia juga mengungkapkan saat musim hujan penghasilan kotornya hanya berkisar 50-80 ribu hal ini disebabkan ketika hujan lebih sedikit orang kantoran yang keluar gedung sehingga penjualannya menurun (Oswaldo, 2023). Ia juga menuturkan terkadang harus tetap berjualan meski di musim penghujan dengan tubuh basah kuyup hingga dini hari.
Jadi Cuaca Panas atau Hujan?
Jadi, apakah benar masyarakat kurang mampu lebih menyukai cuaca panas dibandingkan hujan? Melihat dari banyaknya faktor yang merugikan masyarakat kurang mampu pada saat musim penghujan, cuaca panas memang lebih diharapkan oleh masyarakat kurang mampu dibandingkan turun hujan. Hal ini juga dikonfirmasi langsung oleh pemilik warung yang diwawancarai oleh penulis, "Yah, kalau saya lebih seneng musim panas. Kalo hujan kan bocor di mana-mana, tapi ya jangan terlalu panas soalnya gerah." Dapat disimpulkan bahwa masyarakat kurang mampu lebih memilih cuaca panas dibandingkan hujan dikarenakan pekerjaan mereka yang akan terhambat dan perumahan mereka yang bisa terendam banjir ketika turun hujan. Meski begitu cuaca panas yang berlebihan juga dapat menyebabkan turunnya produktivitas kerja, dehidrasi, kulit terbakar, sakit kepala, hingga demam. Sehingga baik hujan mau pun cuaca panas keduanya memiliki dampak positif dan negatif masing-masing.