Zaman Neolitikum (Zaman Batu Baru)
Lalu pada zaman Neolitikum, masyarakat sudah menjalani hidupnya dengan bercocok tanam untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat di zaman ini percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal dunia tidak sepenuhnya lenyap tetapi masih memiliki kehidupan di alam lain. Oleh karena itu pada zaman Neolitikum, jenazah orang yang meninggal dunia diberikan pembekalan berupa benda-benda keperluan sehari-hari seperti perhiasan dan periuk. Mereka percaya bahwa cara untuk memperoleh tempat khusus di alam akhirat dapat didapatkan dengan melakukan pesta atau ritual tertentu. Puncak dari diadakannya pesta ini adalah didirikannya bangunan yang terbuat dari batu besar atau yang juga disebut dengan tradisi megalitik. Contoh tradisi megalitik hasil dari penyembahan mereka adalah seperti dolmen, menhir, waruga, sarkofagus, dan punden berundak.
Zaman Megalitikum (Zaman Batu Besar)
Selanjutnya pada masa Megalitikum, masyarakat masih terbagi menjadi kepercayaan animisme dan dinamisme, tetapi, mereka lebih berfokus dengan animisme yang lebih berkembang. Zaman ini banyak dikenal dengan zaman yang mulai memiliki kepercayaan. Pada zaman ini, sebagian besar manusia sudah mulai bergantung kepada kekuatan ilahi. Masyarakat di zaman ini sudah sangat mengenal kepercayaan. Mereka percaya bahwa roh nenek moyang masih ada dalam dunia arwah. Mereka juga sangat meyakini bahwa kehidupannya bergantung kepada arwah nenek moyang. Mereka memperlakukan baik arwah nenek moyang yang sudah meninggal dunia untuk menghindar dari ancaman dan nasib buruk.
Zaman Perunggu
Pada zaman perunggu ini, masyarakat menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Dalam zaman ini, sudah mulai ada pekerjaan sederhana, pembagian kelompok, dan lain-lain.
Perkembangan kepercayaan ini dapat terjadi karena manusia pada zaman itu membutuhkan sesuatu yang dapat diandalkan dan dipercaya. Manusia memiliki sifat membutuhkan perlindungan dari orang lain dan bergantung kepada hal lain selain dirinya sendiri, maka, dari situlah terciptanya kepercayaan dari masa praaksara. Manusia pada masa praaksara bergantung kepada benda-benda yang dipercaya memiliki kekuatan ajaib atau gaib yang akan membantu dan mempermudah kehidupannya.
Menurut pandangan Kristen, kepercayaan-kepercayaan yang dianut masyarakat pada zaman praaksara ini sangat bertentangan dengan pandangan kekristenan. Dosa yang dilakukan pada masa praaksara ini adalah dosa penyembahan berhala. Mereka menyembah roh nenek moyang, benda-benda seperti batu, pohon, hewan, dan lain-lain. Dalam ajaran kekristenan, satu-satunya Tuhan yang nyata adalah Tuhan Yesus saja.
Hingga sekarang, yaitu zaman era globalisasi, kita telah mengenal banyak kepercayaan. Masih ada kepercayaan animisme dan dinamisme di kehidupan masyarakat sekarang. Tetapi di Indonesia, kita semua menganut kepercayaan animisme. Saat ini Indonesia telah memiliki enam agama yang sudah diakui pemerintah, yaitu, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Negara kita memberikan kebebasan beragama bagi masyarakatnya. Negara tidak dapat melarang adanya aliran atau agama yang ada dan berkembang di Indonesia selama kepercayaan itu sesuai dengan sila pertama pancasila, yaitu, prinsip Ketuhanan yang Maha Esa, dan tidak menyinggung umat agama lainnya. Tetapi, di Indonesia kita wajib menganut sebuah agama. Di negra ini dilarang adanya ateisme karena hal itu dianggap tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila. Seperti yang tertulis dalam Pasal 18 Deklarasi Universal HAM menyatakan setiap orang berhak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Pasal 28E ayat 1 menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut kepercayaannya. Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 ayat 2 UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap masyarakat untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut Menkumham, tujuan pembentukan negara adalah untuk melindungi dan menghormati hak warga negara dan memenuhi kepentingan seluruh rakyatnya. Dalam konteks keIndonesiaan, salah satu tujuan negara ini adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia tanpa diskriminasi, baik berdasarkan suku, bahasa, maupun agama.
Tetapi, masih banyak masyarakat yang melanggar peraturan kebebasan beragama yang ada di Indonesia. Salah satu contohnya adalah kasus pengeboman gereja. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang tertulis, “bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;”.