Polemik tentang konten podcast Deddy Corbuzier yang mengundang Ragil Mahardika seorang gay menuai kontroversi terutama sejak Menkopohulkam Mahfud MD mengatakan bahwa belum ada aturan hukum yang melarang tentang ini berikut penyiarannya.Â
Perkataan ini  kemudian tambah memacu polemik ketika ditentang oleh Chudory Sitompul seorang dosen tidak tetap Universitas Indonesia dengan dasar hukum pasal dalam UU Perkawinan.
Sebetulnya bolehkah wacana pemidanaan dan pelarangan LGBT seperti yang Bapak  Chudory Sitompul katakan? Apakah bisa Undang-Undang Perkawinan dijadikan dasar pelarangan LGBT? Hal itulah yang akan saya bahas dalam tulisan saya ini.
1. Pertama tama saya ingin menjelaskan bahwa, ciri utama hukum pidana adalah Asas Legalitas. Sebuah perbuatan hanya dapat dihukum jika ada aturan pidana yang melarangnya BUKAN ATURAN PERDATA (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli).Â
Sehingga selama belum ada aturan yang melarang LGBT, maka LGBT bukan termasuk Tindak Pidana. Undang-Undang Perkawinan bukanlah Undang-Undang Pidana tetapi Undang-Undang Perdata. Salah satu ciri Undang-Undang Pidana adalah memuat ketentuan pidana dan sanksi pidana. Sehingga Undang-Undang Perkawinan seperti yang dikatakan oleh Bapak Chudory Sitompul sama sekali tidak bisa dijadikan dasar hukum 'pelarangan' LGBT. Â
2. Hal kedua, sebuah Larangan merupakan ranah Hukum Pidana, karena larangan itu sendiri merupakan unsur dari Hukum  Pidana selain Perintah dan Sanksi. Unsur unsur tindak pidana itu bisa dilihat dan diuraikan dari definisi hukum pidana dari para ahli.
Banyak sekali pakar hukum pidana yang menjelaskan definisi tentang hukum pidana di dunia dan di Indonesia, namun secara keseluruhan pakar-pakar tersebut mengatakan bahwa ada tiga unsur penting hukum pidana yaitu 'perintah',  'larangan' dan 'sanksi' . Diantara pakar-pakar yang menyebutkan unsur-unsur tersebut adalah W.L.G Lemaire, Hazelwinkel Suringa, Prof Moelyatno dan Prof Simons.
Prof Simons berkata, "het geheel van varborden en geboden, aan welker overtrading door de staat of eenige andere openbare rechtsgemeenshap vor den overtreder een bijzonder leed straft verboden is van de voorschiften, doorwelke de voorwarden vor dit rechtsgevolg worden aangewezen, en van de bepalingen, krachttens welke de straf woordt opgelegd en toegepast"
Terjemahan pendapat Prof Simons ini adalah bahwa hukum pidana adalah kesemua perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam oleh suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak menaati kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemua aturan aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankannya.
Dari uraian diatas jelas dikatakan bahwa 3 unsur penting dalam hukum pidana adalah perintah (geboden), larangan (varboden) dan pidana/nestapa (straft) atau bisa disebut juga sebagai sanksi.Â
"Sehingga hanya perangkat aturan hukum pidana saja yang dapat melarang suatu perbuatan seperti LGBT ini".
Yang saya kritisi adalah pendapat bapak Chudory Sitompul yang memakai Undang-Undang Perkawinan sebagai dasar dari 'pelarangan LGBT' karena menurut teori hukum yang ada, LARANGAN hanya ada dalam ranah hukum pidana bukan hukum perdata seperti Undang-Undang Perkawinan.
3. Undang-Undang Perkawinan tidak bisa dijadikan dasar hukum pelarangan LGBT karena selain tidak ada ketentuan pidananya, juga tidak ada kata 'melarangnya'. Larangan yang masuk dalam ranah hukum pidana tadi harus dibuktikan secara 'lex scripta, lex stricta dan lex certa' karena hukum pidana melarang analogi. Harus benar-benar ada pasal yang melarang dengan tulisan yang benar-benar sama persis baru perbuatan itu bisa dianggap larangan dan masuk ranah pidana. Mengapa hal ini dilakukan? Karena hukum pidana itu ultimum remidium, the last resort atau pilihan terakhir. Jadi harus diusahakan dulu berbagai cara lain baru hukum pidana ditempatkan di paling ujung.
Jika pasal pidana  bisa dianalogi semaunya dan diperluas semaunya maka orang akan dengan mudahnya dipidana dan masuk penjara sehingga akan berimbas pada beban pemenjaraan dan kontraproduktif dengan asas kemanfaatan sebagai salah satu fungsi dari hukum itu sendiri.
4. LGBT itu adalah vulnerable grup atau kelompok rentan. Walau definisi vulnerable grup masih menuai perdebatan namun definisi kelompok rentan akan diskriminasi Hak Asasi Manusia dalam  ketentuan Perserikatan Bangsa Bangsa dimana Indonesia sebagai salah satu anggotanya memuat LGBT sebagai salah satu kelompok rentan yang wajib dilindungi.
Kelompok rentan ini juga dilindungi dalam UU Hak Asasi Manusia No 39/1999 Â pasal 5 ayat 3 yaitu; "Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan yang lebih berkenaan dengan kekhususannya". Secara tegas lagi hak LGBT diakui dalam pasal 3 dan 4 yaitu sebagai hak atas kebebasan pribadi". Â
LGBT bukan tindak pidana. Jika LGBT melakukan kekerasan seksual terutama pada anak, heteroseksualpun justru penyumbang terbesar kekerasan pada anak (phedopilia), sehingga phedopilia tidak bisa diidentikkan dengan LGBT.
LGBT juga bukan penyumbang AIDS, karena mayoritas kaum LGBT berpasangan. Menurut data Kementrian Kesehatan penyumbang AIDS adalah heteroseksual yaitu 70,2 persen baru homoseksual 22 persen, perinatal (3 persen), biseksual( 2 persen ) dan pengguna jarum suntik (1 persen), sehingga LGBT tidak bisa dianggap sebagai bahaya karena penyumbang AIDS terbanyak adalah heteroseksual yang melakukan seks dengan tidak aman.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H