"Sehingga hanya perangkat aturan hukum pidana saja yang dapat melarang suatu perbuatan seperti LGBT ini".
Yang saya kritisi adalah pendapat bapak Chudory Sitompul yang memakai Undang-Undang Perkawinan sebagai dasar dari 'pelarangan LGBT' karena menurut teori hukum yang ada, LARANGAN hanya ada dalam ranah hukum pidana bukan hukum perdata seperti Undang-Undang Perkawinan.
3. Undang-Undang Perkawinan tidak bisa dijadikan dasar hukum pelarangan LGBT karena selain tidak ada ketentuan pidananya, juga tidak ada kata 'melarangnya'. Larangan yang masuk dalam ranah hukum pidana tadi harus dibuktikan secara 'lex scripta, lex stricta dan lex certa' karena hukum pidana melarang analogi. Harus benar-benar ada pasal yang melarang dengan tulisan yang benar-benar sama persis baru perbuatan itu bisa dianggap larangan dan masuk ranah pidana. Mengapa hal ini dilakukan? Karena hukum pidana itu ultimum remidium, the last resort atau pilihan terakhir. Jadi harus diusahakan dulu berbagai cara lain baru hukum pidana ditempatkan di paling ujung.
Jika pasal pidana  bisa dianalogi semaunya dan diperluas semaunya maka orang akan dengan mudahnya dipidana dan masuk penjara sehingga akan berimbas pada beban pemenjaraan dan kontraproduktif dengan asas kemanfaatan sebagai salah satu fungsi dari hukum itu sendiri.
4. LGBT itu adalah vulnerable grup atau kelompok rentan. Walau definisi vulnerable grup masih menuai perdebatan namun definisi kelompok rentan akan diskriminasi Hak Asasi Manusia dalam  ketentuan Perserikatan Bangsa Bangsa dimana Indonesia sebagai salah satu anggotanya memuat LGBT sebagai salah satu kelompok rentan yang wajib dilindungi.
Kelompok rentan ini juga dilindungi dalam UU Hak Asasi Manusia No 39/1999 Â pasal 5 ayat 3 yaitu; "Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan yang lebih berkenaan dengan kekhususannya". Secara tegas lagi hak LGBT diakui dalam pasal 3 dan 4 yaitu sebagai hak atas kebebasan pribadi". Â
LGBT bukan tindak pidana. Jika LGBT melakukan kekerasan seksual terutama pada anak, heteroseksualpun justru penyumbang terbesar kekerasan pada anak (phedopilia), sehingga phedopilia tidak bisa diidentikkan dengan LGBT.
LGBT juga bukan penyumbang AIDS, karena mayoritas kaum LGBT berpasangan. Menurut data Kementrian Kesehatan penyumbang AIDS adalah heteroseksual yaitu 70,2 persen baru homoseksual 22 persen, perinatal (3 persen), biseksual( 2 persen ) dan pengguna jarum suntik (1 persen), sehingga LGBT tidak bisa dianggap sebagai bahaya karena penyumbang AIDS terbanyak adalah heteroseksual yang melakukan seks dengan tidak aman.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H