Mohon tunggu...
Grace Indira Pramadewi
Grace Indira Pramadewi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tak Ada Empati Di Film "Vinna: Sebelum 7 Hari"

20 Mei 2024   13:59 Diperbarui: 27 Juli 2024   17:18 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Kevin  Malik: https://www.pexels.com/photo/word-empathy-on-paper-9017727/ 

Tulisan ini adalah sebuah tulisan yang terlambat untuk diutarakan ke publik. Di tulisan ini, saya ingin mengkritik sebuah film Indonesia terbaru di mana sebenarnya sudah ditentang banyak orang. Meski begitu, penonton film ini sudah lebih dari 1.000.000 orang. Benar, saya sedang membahas "Vina Sebelum 7 Hari". 

Kita semua sudah tahu film ini bercerita tentang apa. Jujur, saya pun sangat enggan menonton film ini. Bagi saya, film ini sangat nir empati dan tak perlu bagi saya sampai menonton sampai habis film ini setelah melihat ulasannya di Twitter (X). Cerita di film ini mengangkat kisah seorang gadis bernama Vina dan apa yang terjadi kepadanya sampai maut menjemputnya. Saya bahkan tak ada hati untuk membahas lebih dalam tentang film ini. Ada banyak hal tentang film ini buat kepala saya geleng-geleng.

Pertama, apakah perlu dibuat dengan balutan film horor? Mengapa sutradara memilih genre ini, padahal beliau dikenal dengan memasukkan unsur seksual pada setiap filmnya?

Kedua, meskipun keluarga dari almarhumah mengijinkan sutradara untuk mengkisahkan kembali apa yang terjadi kepada almarhumah, apakah kita sebagai penonton perlu mengetahui detil demi detil tindak kejahatan yang dilakukan sekelompok pemuda kepada almarhumah dan almarhum kekasihnya? Tindak kejahatannya bukan main-main: Pemerkosaan dan pembunuhan. Adakah sutradara menghormati almarhumah sebagai korban? Adakah sutradara memikirkan bila korban pemerkosaan yang lainnya mendengar ada film menggambarkan secara gamblang tindak kejahatan yang pernah mereka alami? 

Ketiga, apakah benar bila tujuan film ini dibuat untuk mengangkat kasus yang terjadi kepada almarhumah? Sebab dari pengamatan pribadi saya di Twitter yang membahas film ini, banyak cuitan menggambarkan bahwa penonton film ini justru teringat akan situasi tak nyaman untuk dibicarakan. Saya tak mau menuliskannya di sini. 

Sungguh, bagi saya film ini sangat mengkhawatirkan untuk menggambarkan seseorang yang sudah tiada.

Tetapi dari pembahasan film ini, saya juga mengenal sebuah sisi baik dari penggambaran seseorang yang sudah tiada. Sisi tersebut datang dari sutradara bernama Yandy Laurens yang membahas penggambaran seseorang yang sudah meninggal dunia di film karyanya berjudul "Jatuh Cinta Seperti Film-Film" di akun Instagram beliau. Saya sangat menggagumi pembahasannya dan sangat tertarik untuk menonton filmnya (karena saya belum nonton filmnya, mohon dimaafkan). 

Seharusnya, kita bisa menghormati seseorang, terutama saat seseorang sudah meninggal dunia. Baik di karya fiksi mau pun di kehidupan nyata.

Sekian tulisan kritik saya. Kritik ini hanya mengutarakan rasa masygul dalam diri saya tanpa ada maksud menjatuhkan salah satu pihak. Saya memohon maaf terlebih dulu atas tulisan ini. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun