"Anak zaman sekarang sopan santunnya makin luntur!". Kita pasti sering mendengar kalimat ini.Dulu, anak-anak diajarkan untuk selalu hormat kepada yang lebih tua, dan diajarkan tutur kata yang lembut, sekarang? anak muda zaman sekarang berbanding terbalik dengan generasi yang lebih tua. Generasi muda atau kita sebut saja sebagai gen Z, sering lebih blak-blakan, kritis, bahkan terkesan cuek. Apakah ini menjadi pertanda bahwa kemunduran moral pada etika generasi muda?. Krisis moral generasi muda sering menjadi perbincangan diberbagai kalangan, terutam generasi yang lebih tua.
Perubahan sosial yang begitu cepat di era digital membawa dampak besar pada perilaku generasi muda. Jika dulu moral seperti menghormati yang lebih tua, sopan santun, dan etika sosial dijunjung tinggi,mini banyak yang merasa bahwa sikap hormat mulai luntur, tergantikan oleh sikap individualisme. Menurut Suseno dalam (Ananda 2017), nilai moral merupakan sebuah ukuran dari sikap dan perilaku seseorang, baik itu diukur dalam sikap baik ataupun burukdan benar maupun salah.
Perubahan Nilai dalam Generasi Muda
Generasi muda atau sering disebut sebagai gen Z tumbuh di era media sosial., dimana siapapun bebas bersuara tanpa batas. Keberanian gen Z untuk menyuarakan pendapat, menolak norma-norma kaku, dan menuntut keadilan sosial perlu diapresiasi. Namun, terkadang gen Z sering menyalahgunakan kebebasan mereka. Kebebasan yang mereka gunakan menjadi perubahan nilai moral dibanding generasi sebelumnya. Dulu, etika banyak dipengaruhi nilai-nilai agama dan budaya setempat. Sebaliknya, sekarang internet dan media sosial membentuk standar moral baru. Gen Z lebih ekspresif dan blak-blaka. Transparansi dan kejujuran dianggap lebih penting dibanding dengan sopan santun yang dianggap 'palsu'. I inilah yang menjadikan gen Z dianggap krisis moral dikalangan generasi yang lebih tua. Selain itu, gen Z sering dipandang kurang respek terhadap otoritas atau mudah menimbulkan konflik dengan generasi yang lebih tua.Generasi yang lebih tua cenderung menghormati otoritas tanpa banyak bertanya. Contohnya, jika atasan, guru, atau orang lebih tua memberi perintah, maka hal itu harus diikuti dan dilaksanakan karena dianggap lebih berpengalaman. Sedangkan, gen Z lebih kritis dan tidak akan langsungelaksanakan perintah tersebut. Jika merasa perintah tersebut jika menyimpang. Mereka tidak akan segan menentang atasan, guru bahkan orang tua jika mereka merasa perintah tersebut tidak masuk akal. Namun, hal ini akan menciptakan perselisihan dengan generasi yang lebih tua, yang mengangap sikap ini kurangnya rasa hormat dan etika. Gen Z seringkali berbicara dengan bahasa gaul bahkan kepada yang lebih tua. Hal ini yan menjadi perbandingan kepada generasi yang lebih tua masih menjaga dan mempertahankan kebiasaan berbicara lebih sopan, terutama kepada yang lebih tua. Selain kurangnya sopan santun dalam berbicara, gen Z juga sering dianggap tidak sopan ketika bertemu atau berkumpul dengan teman, rekan kerja atau keluarga. Mereka lebih mementingkan handphone mereka dibanding menyapa atau berbicara dengan kumpulan tersebut.
Antara Bebas dan Tak Terbatas
Dikalangan gen Z , media sosial bukan sekedar sarana komunikasi, tetapi juga sebagai aktualisasi diri. Gen Z dapat berbicara tentang isu, politik, lingkungan hingga hak asasi manusia, tanpa terikat oleh hierarki sosial tradisional. Namun, dalam hal ini, kebebasan seperti ini sering bersinggungan dengan etika. Kebebasan tanpa batas bukanlah kebebasan melainkan anarki. Etika berperan sebagai pagar yang menjaga kebebasan tetap bermakna dan tidak merugikan pihak lain.
Gen Z seringkali menyebarkan hoaks, melakukan perundingan daring, serta tidak menghargai privasi orang lain didalam media sosial. Faktanya gen Z seringkali menjadikan kebebasan berbicara menjadi kebebasan menghina dan menyebarkan kebencian kepada orang lain.
Misalnya, dalam budaya 'cancel cture', individu atau kelompok yang dianggap melanggar norma sosial dapat dengan mudah dikucilkan dan dikritik. Meski bertujuan untuk menegakan keadilan sosial, praktik ini sering kali menyebabkan persekusi digital tanpa ruang diskusi. Kebebasan perbendapat menjadikan senjata yang membungkam pihak lain. Namun, terlepas dari semua etika gen Z yang sedikit berlebihan, ada makna positif yang bisa diambil dari gen Z.
Gen Z seringkali mendapat kritik sebagai generasi bebas, terlalu bergantung pada teknologi, dan kurang sopan. Tapi benarkah demikian?. Kenyataanya, dari sikap gen Z ini, bisa menjadi contoh bagi generasi lainnya. Jika melihat lebih dalam, gen Z bukan hanya generasi yang bebas dan kurang bermoral, tetapi juga paling sadar akan nilai-nilai etika dalam kehidupan modern. Mereka tidak hanya berani bersuara, tetapi memiliki rasa sosial yang tinggi.Salah satu contohnya adalah keberanian gen Z menyuarakan pendapat, mereka tidak takut menentang dan mengkritik sistem yang dianggap tidak adil dan tidak sesuai norma yang berlaku. Tapi, mereka tidak hanya sekedar bicara atau mentang saja. Mereka akan lebih kritis dan memeriksa kebenaran sebelum menentang pendapat tersebut. Hal yang menjadikan gen Z lebih diapresiasi yaitu m, mereka sangat terbuka dengan namnya perbedaan. Mereka lebih cenderung menerima dan mendukung kesetaraan gender, keberagaman budaya dan hak-hak minoritas yang tidak ditemukan pada generasi yang lain.
Jika dlu menghormati yang lebih tua dianggap sebagai nilai utama, kini banyak yang merasakan gen Z lebih cuek, kurang sopan, dan sering melawan. Namun, apakah ini benar-benar krisis moral? Faktanya gen Z lebih banyak memiliki keunggulan dalam banyak aspek. Berani berpendapat, keterbukaan terhadap perbedaan, peduli, mementingkan transparansi dan kejujuran, menjadikan nilai plus bagi gen Z yang tidak dimiliki generasi lainnya. Generasi sebelumnya lebih menjunjung tinggi nilai kesopanan dan tata Krama, gen Z lebih menekankan kesetaraan dan keadilan.
Pada akhirnya, perubahan ini bukanlah menjadi kemunduran atau krisis moral, melainkan refleksi dari dinamika zaman yang terus berkembang. Kita hanya perlu memahami dan menjembatani perbedaan nilai ini, agar tercipta keseimbangan antara etika tradisional dan pemikiran modern. Daripada hanya mengkritik dan menghakimi saja, lebih baik kita mencari titik temu antara nilai-nilai dengan yang baru, sehingga etika dan sopan santun tetap terjaga tanpa menghambat kebebasan berekspresi dan berpikir.