PEMILIHAN gubernur DKI Jakarta akan dilangsungkan pada Februari 2017. Berbagai cara dilakukan elit guna mendapat dukungan publik. Bahkan, hingga memproduksi bahan kampanye yang irasional.
Salah satu cara mengais dukungan dan mengundang simpatik publik adalah dengan “menjadikan” diri sebagai korban politik. Korban dalam arti adalah pihak yang dirugikan, didominasi, serta diremehkan. Pada konteks ini, seorang direkayasa guna mendapatkan belas kasih, berujung dukungan. Maklum, manusia Indonesia tidak jauh-jauh dari pola laku politik emosional.
Sebagaimana diketahui, melalui pemberitaan dan eksploitasi media, Ahok merupakan politisi yang dikontruksi “unik”. Kehidupan dan latar belakang politik Ahok dipenuhi begitu banyak drama, dimana sebagai seorang berlatar belakang etnis tionghoa dan beragama kristen, dia kerap mendapat penolakan: korban.
Bahkan, tidak jarang, karena identitasnya itu, Ahok diperlakukan secara diskriminasi. Dia ditolak, dibatasi, dan dia dicaci. Tetapi Ahok mampu melawan dan bertahan. Dia pun kemudian berhasil, salah satunya adalah dengan menjadi Bupati di wilayah yang bermayoritas penduduk beragama Islam dan menjadi anggota DPR-RI mewakili wilayah itu.
Kisah drama Ahok ini seakan menjadi representatif banyak pihak, utamanya kelompok minoritas. Ahok seakan hadir sebagai simbol kemenangan sekaligus pelawanan atas pola laku dan sikap buruk dan tidak adil yang sering dialami oleh kelompok minoritas. Ahok di mata kelompok minoritas adalah pahlawan, simbol “kemenangan” atas dominasi mayoritas.
Politisasi sebagai “Korban”
Latar belakang kehidupan “dramatis” ini kemudian menjadi lain, dan bermakna berbeda di arena politik praktis. Sebagaimana natur politik praktis kita yang masih sebatas mengejar kemenangan dalam perebutan jabatan politik, berbagai kelompok yang terlibat lantas menghalalkan berbagai cara untuk mengais dukungan konstituen. Apapun diperbuat, tak terkecuali menjual “situasi jadi korban” sebagai komuditas politik.
Untuk membuat agar posisi “menjadi korban” ini terus bermanfaat, pemberitaan dan proganda mengenai adanya penolakan kepada Ahok, sebagai gubernur dan calon gubernur, oleh kelompok tertentu dengan basis identitas terus dimunculkan. Secara senggaja, isu diskriminasi ini digulirkan terus-menerus oleh media pro-Ahok (meda Kempes.com, Tempe.co, Suara Pembohong, Detak, dst..) dan kelompok pendukungnya.
Mereka paham bagaimana pentingnya memainkan (mengekploitasi) sentimen (perilaku emosional) ini untuk menarik dan mendapat simpatik warga Jakarta, utamanya dari kelompok kelas menengah “ngehek” dan elit Jakarta (kelompok pemodal).
Dominasi wacana yang hendak dibangun adalah: bahwa yang melawan Ahok pastilah orang yang anti karena identitas primodialnya (etnis maupun agamanya). Publik Jakarta senggaja digiring agar berpikir, bahwa yang menantang Ahok pada Pilkada sudah pasti adalah wakil kelompok intoleran dan masyarakat yang perilaku diskriminasi.
Sebagai kelompok kelas terdidik, perilaku diskriminasi berbasis primodial merupakan tindakan yang paling dihindari, kecuali sikap diskriminasi berbasis “kelas ekonomi”. Maka dengan makin gencar dan meluasnya wacana seperti itu, masyarakat akan bersimpatik, posisi Ahok sebagai korban patut dikasihani, sehingga akhirnya memberikan keuntungan pada pemilihan gubernur DKI Jakarta.