Di tengah polemik pemberlakukan hukuman mati di Indonesia, publik dikejutkan dengan munculnya kasus Yusman Telaumbanua Arif. Yusman, pemuda asal Nias itu, diduga adalah korban peradilan sesat, dijadikan obyek permainan oleh aparat penegak hukum. Dia divonis hukuman mati atas tuduhan pembunuhan terencana yang dilakukan terhadap majikannya pada tahun 2012 silam. Padahal, menurut hasil advokasi KONTRAS dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yusman belum masuk dalam kategori dewasa ketika vonis itu jatuhkan. Yusman waktu itu baru berumur 16 Tahun (berita ada di sini) dan (di sini).
Bukan hanya masalah umur yang diduga cacat hukum. Namun proses peradilan juga berlangsung secara tidak masuk akal. Menurut Haris Azhar, salah satu keganjilan itu adalah: pengacara Yusman justru meminta agar pengadilan menjatuhkan vonis yang lebih berat dari sekedar hukuman seumur hidup (sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum), yakni hukuman mati (di sini). Bisa dibayangkan, dimana rasionalitas proses hukum yang berjalan, jika penasehat hukumnya justru bersikap sebaliknya?!
Dari situ saja, kita bisa menduga ada persoalan serius dalam proses hukum atas Yusman, yang pada akhirnya itu juga bisa menjadi refleksi atas bagaimana praktek hukum di negeri ini.
Hukuman mati
Kasus Yusman adalah secuil dari sejumlah kasus salah vonis akibat rekayasa atau "kriminalisasi" oleh aparat hukum di negeri ini. Data KONTRAS menunjukan bahwa pada tahun 2008 terdapat Ruben Pata Sambo dan Markus Pata Sambo, misalnya, yang juga menjadi korban dari rusaknya praktek hukum di Indonesia. Meski Ruben dan Sambo pada akhirnya terbukti tidak bersalah, hukuman mati tetap diberlakukan kepada mereka (di sini) dan (di sini).
Rusaknya hukum di Indonesia juga tercermin dari lembaga peradilan yang penuh dengan perilaku korup hakim. Bahkan, masalah rekayasa kasus oleh pihak Kepolisian juga rahasia umum. Peristiwa seperti polisi pura-pura melakukan penyergapan lalu melakukan aksi "membuang atau menyelipkan sabu-sabu ke arah atau pakaian orang yang hendak dikriminalisasi", juga adalah hal terlalu sering dipertontonkan (seperti di sini).
Kasus Yusman, persoalan salah vonis Ruben dan Sambo, begitu juga dengan perilaku kriminalisasi oleh penegak hukum di Indonesia adalah cerminan bagaimana "muka" sistem hukum kita: rusak, wibawa nihil, dan tidak layak dijadikan rujukan dalam mencari keadilan.
Di tengah kondisi macam itu, adalah tidak masuk akal jika proses penegakan hukum kita ditempatkan sebagai sesuatu yang suci atau diagung-agungkan sedemikian rupa, sehingga layak diyakini hasil kerjanya atau bebas dari kritik. Kondisi rusaknya tatatan hukum kita itu seharusnya membuat rasio publik lebih "gila" lagi dalam mencermati dan mengawasi kinerja aparat penegak hukum. Di situ daya skeptis (curiga) atau tidak mudah memercayaai terhadap proses hukum adalah sikap yang mutlak dikedepankan! Publik tidak boleh digiring untuk bersikap naif dengan mempercayai proses peradilan yang ada sekarang ini. Sebaliknya, publik harus berani bertanya dan mempertanyakan setiap hasil yang lahir dari praktek penegakan hukum yang sedang berlangsung, baik ketika sedang diproses oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan, atau Pengadilan. Masyarakat tidak boleh lengah di hadapan kekuasaan penegakan hukum dan kehakiman!
Konsekuensi berikutnya adalah, karena proses penegakan hukum kita adalah rusak dan tidak akan pernah mencapai sempurna, maka cukuplah, sekali lagi cukuplah, jika sistem buruk itu diberikan hak bekerja untuk penegakan hukum dengan kewajiban memberikan sanksi hukuman sebatas kurungan atas tubuh dan jenis sanksi hukum lainnya. Sistem hukum yang rusak total (hampir semua lini) semacam itu sangat tidak pantas diberikan hak untuk menjatuhkan hukuman mati. Sistem hukum yang busuk cukup diberikan hak serta kewajiban untuk menegakkan hukum yang punya peluang untuk dilakukan koreksi kembali, jika suatu saat ditemukan kekeliruan. Sistem hukum yang bobrok (dan bersifat relatif ini) tidak layak diberikan hak memutuskan hingga berbentuk sanksi yang bersifat mutlak (mati: tidak bisa dikoreksi).
Belajar dari kasus Yusman, begitu juga terhadap kasus krimininalisasi oleh penegak hukum, seharusnya membuka pikiran kita bahwa memberikan hak mencabut nyawa kepada institusi negara atau membunuh--yang dalam prosenya timpang sana-sini--atas dasar apapaun, termasuk menegakan hukum, adalah sebuh kenaifan. Itu merupakan sikap dangkal yang tidak berwawasan: memahami konteks. Oleh karena itu, demi pengakuan atas keterbatasan manusia serta besarnya potensi penyimpangan atas penegakan hukum, publik seharusnya mendorong dan memaksa agar negeri ini segera mencabut dan membuang jauh-jauh bentuk sanksi hukuman mati dari semua produk hukumnya.
Jika pun itu adalah tuntutan yang terlampau ideal, maka sudah sepantasnya jika masyarakat memaksa agar Jokowi, sebagai presiden, berlaku waras dengan menerima semua grasi terpidana mati, lalu mengantinya dengan jenis hukuman maksimal untuk mendidik. (*)