Belum lama ini keberadaan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi wacana yang menghangat. Ada yang menuduh bahwa pemerintah hendak meniadakan kolom agama pada KTP.
Benarkah pemerintah akan menghapus kolom agama pada KTP? Ternyata, tidak. Yang dimaksud oleh Menteri Dalam Negeri adalah dibukanya kemungkinan pengosongan atau dibolehkannya tidak diisi bagian kolom agama pada KTP bagi kelompok warga negara Indonesia penganut keyakinan di luar enam agama dominan di Indonesia. Enam agama dominan dimaksud adalah penganut agama Islam, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Katolik, dan Kristen.
Apa yang didapat dari mencuatnya masalah ini? Setidaknya, diskusi hubungan agama dengan negara kembali menghangat. Masyarakat diajak lagi merenungkan bagaimana seharusnya negara bersikap terhadap warga negara yang tidak menganut enam agama tersebut.
Pentingnya Peluang Pengosongan
Harus diakui, selama ini di beberapa wilayah di Indonesia, terdapat berbagai fakta diskriminasi terhadap penganut agama “non-plat merah” itu. Karena menganut keyakinan di luar pilihan-pilihan yang ada pada pembuatan KTP, ada warga negara yang harus menjalani kehidupan tanpa memiliki KTP, begitu juga ada yang akhirnya memilih mengisi pilihan agama secara ajak dari enam agama yang diajukan oleh pejabat pembuat KTP.
Terhadap mereka yang enggan memilih salah satu dari enam agama, konsekuensinya tidak diterbitkan KTP. Implikasinya, hak-hak sebagai warga negara yang pengurusannya mensyaratkan KTP, semisal pemasangan listrik, pembuatan kartu kelahiran anak, pernikahan, dan jenis hak sipil lainnya, harus rela dikesampingkan. Sebaliknya, bagi yang memilih salah satu dari enam agama tersebut, terpaksa menjalani hidup dalam kepura-puraan. Padahal, pada tataran sosial, masyarakat kerap menutut agar hidup seseorang bersesuaian dengan nilai-nilai agama yang dianut. Bisa dibayangkan betapa susahnya hidup dalam konteks semacam itu.
Pada perspektif konstitusional, Pasal 29 UUD 1945 mengamatkan bahwa negara berkewajiban melindungi warga negara untuk berkeyakinan. Artinya, warga negara dilindungi dalam memilih menganut jenis keyakinan. Negara tidak dibolehkan melakukan intervensi terhadap pilihan keyakinan warga negara, apalagi memaksanya untuk memilih agama tertentu. Oleh karena itu, adalah sebuah langkah maju, karena dalam Undang-undang No. 24 tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal 64 Ayat 5, diberikan kebebasan bagi warga negara yang menganut agama non-enam untuk mengosongkan atau tidak mengisi (bukan menghapus) kolom agama pada KTP. Ini adalah landasan konstitusional yang menegaskan bahwa meskipun menganut keyakinan di luar agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, seorang warga negara tetap berhak mendapatkan KTP dan hak-hak sipil lain serta aparat negara wajib memenuhinya.
Aturan negara tersebut juga memiliki landasan sosial yang kuat. Indonesia sejak lama diakui sebagai negara beragam etnis. Sebelum agama-agama “impor” masuk, telah lama tumbuh subur keyakinan-keyakinan khas yang berbasis suku di wilayah Indonesia. Kita mungkin mengenal adanya penganut Pelbegu dan Parmalin di Sumatera Utara, Sunda Wiwitan di Jawa Barat, Islam Watu Telu di Lombok, Kaharingan di Kalimantan, Tonaas Walian di Sulawesi Utara, dan masih banyak agama khas masyarakat kita lainnya. Suka atau tidak, mau mengakui atau tidak, agama “asli” nenek moyang orang Indonesia adalah tergolong dalam agama-agama khas sejenis itu. Maka, adalah tidak adil, jika eksistensi agama “impor” begitu mendapat penghargaan, sedangkan di bagian lain, kita justru kerap merendahkan dan mengucilkan keberadaan (penganut) agama khas peninggalan “orang tua” kita itu. Melalui UU Administrasi Kependudukan ini, kita seharusnya ikut terdorong untuk berubah sikap dan cara pandang dalam melihat eksistensi agama “asli” orang Indonesia itu.
Kolom agama pada KTP adalah refleksi hubungan dan perjumpaan agama dengan negara. Sejauh tidak menjadi celah diskriminasi yang mengamputasi hak sipil sebagian warga negara, tentulah tak soal kalau kolom agama itu dicantumkan. Namun, jika dalam keseharian kolom agama justru menjadi pintu masuk perilaku diskriminasi oleh sebagian warga dan aparat negara, maka saat itulah keberadaan kolom agama pada KTP menjadi layak untuk dibincangkan kembali. (*)
Sumber: Malut Post (22/11/2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H