Mohon tunggu...
R. Graal Taliawo
R. Graal Taliawo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Asli orang Halmahera Selatan-Maluku Utara | Minat "OTAK-ATIK" STATUS QUO | SAYA MENGHARGAI HAK BERKEYAKINAN & MENDUKUNG KEBEBASAN BERAGAMA | MENOLAK SISTEM EKONOMI KOMPETISI SEHAT | Suka makan Nasi Kucing & minum Teh Hangat Manis | www.graaltaliawo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mahfud: Tidak ada Partai Islam

22 November 2013   15:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:48 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13851100212110611097

[caption id="attachment_303623" align="aligncenter" width="670" caption="http://www.merdeka.com/politik/mahfud-pesimis-soal-wacana-koalisi-partai-islam.html"] [/caption]

"Partai Islam itu apa sih? Gak ada itu partai Islam.”

Itulah sepengal pertanyaan retorika Mahfud MD, ketika berpendapat soal Partai Politik Islam. Ia menambahkan, jika yang menjadi acuan adalah Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), maka umumnya partai memiliki tujuan yang sama (di sini & di sini).

Bahkan, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, tidak ada jaminan bahwa bahwa partai agama lebih baik dari partai nasionalis, pun sebaliknya. Fakta yang ada, banyak politisi dari partai agama yang terjerap korupsi, sama dengan politisi partai lainnya. Mahfud menutup komentarnya, dengan mengatakan bahwa partai politik ideal adalah yang berideologi pancasila!

Kita bersepakat dengan pandangan politisi dan dosen asal Madura ini. Fakta seharusnya membuka mata kita bahwa sebagian besar politisi di negeri ini adalah kumpulan manusia rakus, dan miskin dalam banyak hal, termasuk minus moralitas. Akibatnya, mereka dengan begitu nikmat mencuri uang rakyat dan bahkan menjadi pengumbar seks. Bukan saja uang milayaran yang dikorup, namun juga menjadi “penjahat kelamin”. Pada konteks ini, politisi busuk—dari parpol manapun—telah menyumbang kerusakan moral publik.

Untuk itu, adalah tidak logis, menurut penulis, kalau hari ini masih ada sebagian kita yang terpikat dengan slogan-slogan agamis suci yang diumbar sebagian elit politik guna mencari simpatik publik. Adalah aneh, jikalau kita masih memilih partai politik dan politisi dengan menggunakan referensi ideologi agama. Sudah tidak sepatutnya publik yang kian beranjak dewasa dalam berpolitik ini, mengikuti bualan-bualan kosong mereka itu. Faktanya, politisi asal partai manapun, termasuk dari partai (mengaku) beragama, mereka hampair sama saja: korup dan pembeli seks.

Kalaupun hendak membedakan partai politik, maka secara pragmatis, semua partai politik adalah busuk dan sekaligus baik. Busuk, karena partai politik kini banyak disesaki oleh kader yang kelebihan nafsu keserakahan untuk berkuasa namun demi memperkaya diri sendiri.

Mereka mengejar kekuasaan untuk kepentingan perut dan memperbesar keuangan partai. Rakyat hanya menjadi komuditas ketika pemilu tiba. Pemilik kekuasaan ini hanya dijadikan obyek politik dengan iming-iming recehan. Rakyat dirayu sedemikian rupa agar ketika pemilu tiba, wajah genteng dan cantik mereka yang dicomblos.

Akan tetapi, di saat yang sama, partai politik juga adalah baik. Minimal, mereka adalah relawan-relawan yang bersedia menjadi penggerak politik di negeri ini. Politisi-politisi tersebut, seburuk apapun, patut dihargai upayanya untuk mengisi jabatan penyelenggara negara. Kita bisa bayangkan akan jadi apa negeri ini, kalau pilar-pilar penyelenggara negara kita itu tidak terisi, sudah pasti tidak berjalan. Proses bernegara kita akan tambah kacau.

Akhirnya, baik-buruk politisi di negeri ini, dan dari partai mana pun itu, adalah cerminan bahwa sesungguhnya mereka itu sama saja. Oleh karena itu, tidak salah juga jika kita kemudian berpandangan bahwa seburuk-buruknya, partai itu bisa dibedakan berdasarkan strategi pemenangannya. Bahwa ada partai yang “menjual ide agama” dan ada yang “menjual gagasan nasionalisme” sebagai komuditas politiknya.

Jika yang satu menyeret agama untuk melegitimasi kepentingan nafsu serakahnya, maka yang lain menyuguhkan nasionalisme sebagai dagangannya. Yang satu seakan hendak menjadi pahlawan bagi yang lain, karena nasionalisme dianggap adalah lawan bagi ide primodialisme agama, pun sebaliknya. Padahal, jika dilihat-lihat, mereka itu ternyata sama saja: rakus dan bernafsu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun