[caption id="attachment_305096" align="aligncenter" width="448" caption="Sumber: http://fannyrofalina.blogspot.com/2013/07/penyeimbangan-agama-dan-negara-untuk.html#.UpZejid098A"][/caption] Mungkin, kita tidak pernah mengalami kesusahan dalam layanan publik karena identitas agama. Apalagi, kalau terlahir dari keluarga penganut enam agama yang dicap sebagai resmi. Mereka yang menganut agama budha, hindu, islam, kristen protestan, kristen katolik, dan konghucu, tidak akan ditolak ketika membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) hanya karena agamanya itu. Bahkan, kelompok mayoritas ini bisa leluasa menikmati hak-hak dasar sebagai warga negara tanpa harus merasakan kesusahan yang tidak perlu.
Namun bagaimana dengan nasib mereka yang menganut agama non-enam itu? Pada video (di sini) tentang masyarakat “Sedulur Sikep: Soal KTP”, terlihat jelas bagaimana mereka mengalami kesusahan mendapatkan KTP karena tidak menganut salah satu dari enam agama “plat merah”. Kesusahan itu juga berdampak bagi mereka dalam menikmati fasilitas dan hak-hak dasar warga negara lainnya, semisal listrik dan atau untuk mendapatkan SIM. Bahkan, di video itu juga terdapat fakta bahwa KTP bisa mereka dapatkan dengan tercantum sebagai penganut agama Islam.
Dampak dominasi negara
Nasib buruk yang dialami kelompok Sedulur Sikep penganut Agama Adam ini, tidak lepas dari adanya gagasan agama resmi dan tidak resmi. Konsep ini menegaskan adanya tangan negara dalam bentuk pengakuan atas keberadaan suatu agama. Logika tersebut diturunkan oleh negara dalam kebijakan adanya kolom agama pada KTP. Warga negara diwajibkan memilih salah satu dari enam agama yang dianggap resmi. Mereka yang tidak menganut enam agama harus memilih salah satunya dan atau mengosongkannya.
Pilihan pertama membuat warga negara non-enam agama harus menyangkali fakta keimanannya. Sedangkan tindakan kedua, melahirkan asumsi bahwa negara tidak mengakui keberadaan mereka; atau jelek-jeleknya dianggap sebagai “anak tiri”, dengan segala dampaknya.
Munculnya situasi tersebut adalah konsekuensi negara diikutsertakan dalam urusan agama. Akibatnya, di mata negara, agama adalah obyek. Gagasan tersebut juga mendapat dukungan banyak pihak, utamanya dari penganut enam agama “plat merah”.Dominasi negara atas agama mendapat legitimasinya.
Pada pengertian konflik, praktek dominasi negara terhadap agama, adalah gambaran bahwa ada kelompok dominan dan subordinat. Negara sebagai organisasi adalah cerminan kepentingan kelompok dominan. Pada konteks ini, penganut agama resmi adalah kelompok kepentingan yang direpresentasikan oleh kebijakan negara. Sebaliknya, kelompok yang dicap penganut agama tidak resmi adalah barisan orang terpinggirkan yang mengalami ketertindasan. Mereka harus memilih menyangkali imannya—untuk dapat menikmati hak-hak dasar warga negara—atau bersedia untuk tidak dianggap ada.
Negara sebagai representatif kelompok dominan beroperasi—menjaga kepentingannya—melalui struktur birokrasi. Logika agama resmi dan agama tidak resmi adalah hasil rekayasa kelompok dominan. Pada konteks itu, kehadiran UU Administrasi Kependudukan tidak akan jadi solusi. Sebaliknya, aturan yang diproduksi pasti cenderung membela kepentingan kelompok mayoritas; meminggirkan penganut agama non-enam tersebut. Inilah dampak negara diikutsertakan dalam menentukan keberadaan suatu agama (di sini), termasuk yang kelompok agama “Plat Merah”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H