Mohon tunggu...
R. Graal Taliawo
R. Graal Taliawo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Asli orang Halmahera Selatan-Maluku Utara | Minat "OTAK-ATIK" STATUS QUO | SAYA MENGHARGAI HAK BERKEYAKINAN & MENDUKUNG KEBEBASAN BERAGAMA | MENOLAK SISTEM EKONOMI KOMPETISI SEHAT | Suka makan Nasi Kucing & minum Teh Hangat Manis | www.graaltaliawo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kedok Pertamina di Balik Subsidi Premium

9 Desember 2014   06:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:43 953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SetelahTim Reformasi Tata Kelola Migas bekerja, kelompok tugas yang diketuai oleh Faisal Basri mulai menunjukkan kelincahannya. Minimal, karena desakan mereka Pertamina akhirnya perlahan mulai menurunkan “tirainya”.

Selama ini, BUMN pemegang otoritas tata kelola minyak negeri ini, dianggap bersikap tertutup dalam menjalankan mandat konstitusionalnya. Publik hanya dicekokin kebijakan, namun tanpa keterbukaan mengapa kebijakan itu diambil. Misalnya, publik hanya disuguhi kebijakan harga BBM Premium (subsidi) harus naik, namun tanpa kejelasan mengapa kesimpulan itu diambil dan bagaimana proses penghitungannya. Sejak lama Pertamina seakan bekerja “di ruang gelap”.

Politisasi wacana premium juga membuat publik terjebak dalam perdebatan mendukung kebijakan menaikkan harga jual premium atau menolaknya. Publik digiring berpikir dikotomis, yang akhirnya abai tentang ketidakrasionalan seputar keberadaan BBM jenis premium. Publik lupa bertanya: berapa sesungguhnya harga produksi premium dan atas dasar apa penentuan harga itu? Serta bagaimana proses produksi BBM premium oleh Pertamina?

Beberapa pertanyaan itu sudah mulai terjawab, kian jelas setelah Tim Fasisal Basri mengobok-obok “laci dan lemari” Pertamina. Setelah diejek dan dikatakan tolol—karena dicurigai Pertamina mengimpor minyak RON 92 lalu menurunkan kualitasnya menjadi RON 88 (premium)—oleh Faisal Basri, pihak Pertamina kemudian melakukan pembelaan, tetapi justru membuka berbagi fakta baru yang membuat kaget!

Pertama, bahwa kilang Pertamina hanya ada enam biji, yakni kilang Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Kasim-Sorong. Pada tahun 2012, pihak Pertamina mengatakan keenam kilang itu hanya sanggup memproduksi 12 Juta kl minyak. Padahal, kebutuhan premium nasional (BBM) mencapai 24 juta kl. Hampir 50 persen kebutuhan minyak diimpor. Parahnya, semua kilang itu sejak awal didesain hanya untuk produksi premium bukan pertamax. Di sisi lain, minyak premium yang dihasilkan Pertamina juga berkualitas rendah, yakni RON 70, jenis minyak yang tidak laku di pasar internasional. Untuk bisa menaikkan kualitas minyaknya, Pertamina menyiasati dengan mencampurnya dengan HIGH OCTANE MOGAS COMPONENT (HOMC). Itu pun, hanya mampu menjadi minyak berkualitas RON 88 yang tetap tidak layak jual ke luar negeri (diekspor).

Menurut Dirut Pertamina (tahun 2012) Karen Agustian, membutuhkan waktu sekitar empat tahun untuk mengubah secara bertahap jenis produksi kilang Indonesia dari yang umumnya premium (RON 70) menjadi jenis pertamax (RON 92/95). Karen memperkirakan Pertamina baru akan produksi pertamax secara penuh pada tahun 2017. Itu pun dengan syarat bahwa selama 2012-2016 Pertamina harus me-revamping kilang FCC RU-III Plaju, dengan mengurangi produksi minyak RON 70 (premium), lalu meningkatkan produksi minyak jenis pertamax (Suara Pembaruan, 20/01/2012).

Kedua, pertanyaannya adalah ketika dalam kurun waktu 2012-2017, premium yang diproduksi akan dijual ke mana? Jawabnya adalah: kepada rakyat Indonesia! Dan agar produksi buruk kualitas itu laku, pemerintah “dipaksa” ikut membelinya melalui subsidi, membuat harganya lebih murah supaya laku!

Menurut Vice President Corporate Communication PT Pertamina Ali Mundakir (di sini) Pertamina tetap harus produksi premium, sebab jika tidak maka kilang-kilang Pertamina akan terancam menganggur. Jika pemerintah mengalihkan subsidi ke pertamax guna mendongkrak daya beli masyarakat, maka kilang-kilang Pertamina itu berpotensi berhenti berproduksi. Hal ini juga menandakan bahwa sejak tahun 2012 hingga 2014 (hari ini), upaya Pertamina mengubah jenis produksi dari premium ke pertamax masih belum menunjukkan hasil yang memadai. Kalaupun sudah ada hasil, bisa dipastikan belum mampu memenuhi kebutuhan.

Lalu siapa yang diuntungkan dengan kebijakan subsidi BBM yang ditujukan pada jenis minyak rendah kualitas ini? Rakyat jelas dirugikan sebab BBM yang dikonsumsi adalah jenis kualitas buruk, merusak mesin dan lingkungan. Namun, Pertamina diuntungkan karena produk jelek mereka tetap laku, bahkan dapat subsidi dari negara. Apalagi kini dijual dengan harga yang hampir sama dengan pertamax!

Di satu sisi, premium akan laku karena harga jualnya relatif masih di bawah pertamax. Masyarakat yang hidupnya kadung bergantung dengan minyak, meski hidup dalam keterbatasan, tetap akan rela membeli minyak dengan harga murah meski penuh resiko yang merugikan.

Lalu apakah publik perlu mendesak negara agar subsidi BBM layaknya ditujukan pada minyak jenis pertamax? Hemat penulis, mestinya demikian!

Namun, jika minyak jenis pertamax yang disubsidi Negara, bagaimana nasib premium milik Pertamina yang buruk kualitas itu? Silahkan Pertamina sebagai perusahaan melakukan inovasi melalui kerja kreatif!

Sejujurnya, ini pilihan yang dilematis. Jika negara memilih menyubsidi pertamax, berarti pemerintah akan “membunuh” Pertamina. Namun kalau premium yang terus disubsidi, maka rakyat yang terus dirugikan.

Mungkin titik tengahnya adalah subsidi terhadap premium bisa dilakukan tetapi dalam batasan waktu tertentu. Jika Pertamina mengklaim akan mampu memproduksi pertamax secara penuh pada tahun 2017, maka bisa saja di tahun yang sama subsidi BBM terhadap minyak jenis premium dihapus lalu diberlakukan pada minyak jenis pertamax.

Tetapi, bagaimana dengan polemik kebijakan subsidi terhadap BBM yang masih mengundang diskusi? Hemat penulis, substansi perbedaan pandangan adalah bermuara pada pemahaman terkait esensi negara dan hubungannya dengan pasar. Indonesia dibangun atas dasar bahwa negara mempunyai otoritas atas sumber daya publik (mencakup hak hidup orang banyak), maka konsep subsidi adalah layak dipertahankan terhadap minyak. Subsidi boleh saja ditarik atau dikurangi, namun hal itu hanya bisa diperlakukan terhadap sumber daya yang cakupan kemanfaatannya terbatas dan tidak mencakup hajat hidup orang banyak. Dan penulis kira, minyak tidak masuk dalam kategori itu, malahan sebaliknya, minyak adalah sumber daya esensial bagi kehidupan rakyat bahkan negara. Karena itu, negara tetap harus hadir dan menolong masyarakat, utamanya yang lemah ekonomi, untuk mengakses sumber daya tersebut. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun