Entah logika macam apa yang digunakan oleh Gubernur Gorontalo, Rusli Habibie. Berniat mengantisipasi perselingkuhan yang kerap dilakukan kepala-kepala dinas di instansinya, dia kemudian memerintahkan mengganti sekretaris perempuan dengan laki-laki. Alasannya, selama ini kepala dinas banyak yang bersikap mengistimewahkan sekretaris (perempuan) mereka. Bahkan, tambahnya, ada sekretaris yang mendapat hadiah ketika sang bos usai melakukan perjalanan dinas (di sini).
Meski arahan ini tidak berkekuatan hukum, tetapi solusi “menyingkirkan” kaum hawa dari muka sang “mesum” dan kesempatan atas pekerjaan, adalah sebuah sikap yang kurang bijak.
Di sisi lain, fakta ini kembali membuka tabir buruk cara pandang sebagian pejabat publik kita dalam memosisikan perempuan. Nampak terlihat perempuan masih dilihat sebagai obyek, bukan subyek. Perempuan masih ditempatkan sebagai sumber masalah (perselingkuhan), padahal sebab-sebab pokok bisa jadi ada pada watak suka selingkuh (dan mesum) sang kepada dinas.
Sikap ini adalah bias buruk dari cara pandang patriaki yang selama ini cenderung meninggikan kaum lelaki ketimbang perempuan. Bahkan dalam kasus lain, ketika perempuan sudah menjadi korban pemerkosaan sekalipun, kita masih sempat menyalahkan mereka dengan berbagai alasan. Laki-laki adalah seorang raja yang tidak pernah salah. Jika ada keinginan untuk memperkosa atau selingkuh, itu lebih disebabkan oleh adanya perempuan. Saking buruknya cara pandang kita ini, hingga kita lupa berpikir jernih dalam melihat sumber utama suatu masalah: watak mesum kaum lelaki!
Pada kasus gubernur Gorontalo di atas, tindakan menututp akses perempuan berparas tertentu untuk bekerja sebagai sekretaris, akibat adanya perselingkuhan, adalah sebuah tindakan konyol dan tidak rasional, bahkan adalah bentuk sikap yang merendahkan perempuan. Ini adalah perilaku diskriminatif negatif yang tidak peka terhadap realitas ketertindasan kaum hawa yang selama ini terjadi. Sebagai pejabat (yang) publik, sudah sepantasnya dia memiliki integritas moral yang santun dalam bersikap. Apa yang direncakannya ini adalah sebuah instruksi irasional, yang cenderung melecehkan kaum tertentu, sehingga sudah selayaknya untuk publik bangkit mengecamnya!
#ingat puasa: waktunya berpikir jernih#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H