[caption id="attachment_306077" align="aligncenter" width="407" caption="Sumber: http://mujahidah-wannabe.blogspot.com/2012/04/hari-gini-dai-masih.html"][/caption] Entah ini kabar gembira ataukah tidak, sangatlah bergantung. Bagi, kelompok yang menolaknya hanya karena dia datang dari etnis Cina dan beragama Kristen (minoritas), sudah pasti "ide gilanya" ini akan mendapat cibiran. Sebaliknya, bagi yang mendukung dia secara penuh, idenya ini pasti dianggap penting bahkan menarik (di sini). Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), berencana merealisasikan ide mendidik (mencetak) penghafal Al Quran menjadi pendakwah (Da'i). Bahkan, mereka yang menghafal Al Quran juga akan diusahakan memiliki pekerjaan sebagai penterjemah buku. Gagasan ini muncul karena dalam pengamatan pihak Pemprov. DKI Jakarta, banyak santri yang tidak mempunyai pekerjaan usai mereka menyelesaikan pendidikan pesantren. Padahal, menurut Ahok, banyak di antara mereka yang potensial; mampu menghafal Al Quran sampai 30 juz. Ide ini juga sesungguhnya berdasar, mengingat DKI Jakarta pada tahun 2012 menjadi juara umum Musabaqah Tilawatil Qur’an, (MTQ) Tingkat Nasional ke-XXIV, di Ambon (di sini). Artinya, potensi penghafal Al Quran itu ada di DKI Jakarta. Ahok menyatakan realisasi program ini akan dilakukan oleh Biro Pendidikan Mental dan Spiritual (Dikmental). Dikmental DKI bakal melatih para penghafal Al Quran (Hafidz) selama enam bulan. Penghafal Al Quran tersebut kumudian akan diberdayakan oleh Pemprov DKI Jakarta, yang ternyata juga kekurangan pendakwah (di sini). Ahok tidak main-main dengan ide ini. Sebagai bentuk keseriusannya, dia telah bertemu Quraish Shihab, pendiri Pusat Studi Al Quran. Lembaga Quraish Shihab akan menjadi rekan Pemprov. DKI untuk melaksanakan progam pelatihan tersebut. Bahkan, telah disepakati bahwa program pendidikan khusus bagi para alumni pondok pesantren ini mulai dilaksanakan tahun depan. Pejabat yang Pancasilais Menanggapi niat baik Ahok ini, bisa diduga cibiran bukan saja akan datang dari mereka yang anti dengan Ahok. Namun, kelompok yang anti dengan intervensi negara atas agama juga pasti melakukan protes. Kelompok yang pertama adalah kumpulan manusia irasional, karena menolak sesuatu bukan berdasarkan ukuran kinerja, namun menolak karena alasan perbedaan etnis dan agama. Pada kelompok kedua, biasanya adalah kelompok yang pro pemisahan negara dengan agama. Mereka menolak berbagai intervensi negara atas agama, karena berpotensi mereduksi peran dan fungsi negara. Namun, pada konteks ini, penulis tidak pada dua kelompok itu. Meskipun tindakan Ahok ini adalah bentuk intervensi negara atas agama, namun masih dalam artian yang positif. Tindakan Ahok bukanlah bentuk dominasi negara terhadap agama. Sebaliknya, ini adalah bentuk tanggung jawab negara dalam mendukung dan memberikan ruang bagi tumbuhnya agama. Pandangan ini bukan tanpa soal. Konsekuensi dari tindakan Ahok ini akhirnya akan menuai banyak tuntutan. Ketika Ahok memilih untuk mendorong dan menciptakan iklim sejuk bagi tumbuhnya agama-agama, maka konsekuensi lainnya adalah Ahok, sebagai simbol negara juga harus bersikap sama terhadap kelompok agama-agama lain yang dianut oleh warga DKI Jakarta. Artinya, Ahok akan dituntut untuk tidak bersikap diskriminatif kepada semua kelompok agama. Mau tidak mau, pemerintah DKI Jakarta juga harus memberikan fasilitas sejenis terhadap kelompok agama lain, termasuk kepada kelompok yang mengaku tidak beragama (tidak percaya Tuhan sekalipun). Keberpihakan negara pada semua kelompok agama adalah cerminan dari sila pertama Pancasila. Negara Indonesia bukanlah negara sekuler yang anti dengan agama di ruang publik. Kita juga tidak menganut konsep negara agama: menjadikan satu agama sebagai agama resmi negara. Namun, kita adalah negara Pancasila, yang menuntut pejabat publik-nya berdiri di atas semua kepentingan golongan, tanpa berpihak. Dan kalaupun harus berpihak, maka keberpihakan itu adalah untuk kepentingan semua. Pada konteks itu, apa yang dilakukan Ahok adalah cerminan bagaimana negara harus berada di hadapan agama. Bahwa negara tidak harus mendominasi, ataupun sebaliknya oleh agama. Namun negara memiliki tugas untuk mendukung berkembangnya suatu agama. Karena relasi negara dan agama adalah setara. Di titik itulah, program mendidik (mencetak) penghafal Al Quran menjadi pendakwah dan penterjemah handal merupakan sebuah refleksi atas relasi setara antara agama dengan negara. Ahok, selamat mencetak Da'i!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H