KOMPAS CETAKÂ (1/10/2018) menyoroti kasus hukuman mati yang menimpa warga negara Indonesia di Arab Saudi. Tuti Tursilawati, tenaga kerja asal Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, dieksekusi mati dengan sangkaan membunuh majikannya. Tuti divonis mati sejak tahun 2010 namun baru dilakukan eksekusi pada tahun 2018.Â
Menurut Kementerian Luar Negeri RI, terdapat 13 orang warga negara Indonesia di Arab Saudi yang ada dalam bayang-bayang hukuman mati. Namun, menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, terdapat 19 orang pekerja asal Indonesia yang terancam hukuman mati.Â
Pemerintah Indonesia lantas mengajukan protes. Presiden Jokowi mengatakan tidak ada pemberitahuan atau "notifikasi" kepada Indonesia atas tindakan hukuman mati itu. Kata lain, protes pemerintah Indonesia dilayangkan sebatas karena tidak adanya pemberitahuan alias keberatan tapi dengan nuansa “basa-basi diplomatis".Â
TANGGAPAN RINGAN
Tanggapan atau respon yang nampak biasa-biasa saja dari pemerintah Indonesia adalah sikap yang dapat dipahami. Ada beberapa faktor yang membuat respon pemerintah tersebut nampak biasa saja tanpa terlihat "gregetnya".Â
Pertama, karena secara prinsip, Indonesia sendiri tidaklah berbeda dengan Arab Saudi dalam soal hukum mati. Indonesia masih satu "aliran" dengan Arab Saudi dalam pemberlakuan hukuman mati. Situasi ini membuat Indonesia tidak bisa leluasa untuk mengajukan protes dengan basis argumen demi dan atas dasar penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia: hak hidup dan hak untuk bebas dari kekerasan.
Hukuman mati adalah wujud "penyimpangan" negara atas prinsip hak asasi manusia yang universal. Hukuman mati dari sisi sejarah adalah bentuk penghukuman yang terbelakang. Indonesia masih memberlakukan hukuman mati dan menjadikannya sebagai salah satu cara untuk menghukum warga negara.Â
Selama kepemimpinan Jokowi, terdapat sejumlah terpidana kasus narkoba yang dieksekusi mati, termasuk warga negara asing (Lihat di sini). Komnas HAM menyebutkan bahwa eksekusi mati di era Jokowi lebih banyak daripada era SBY (Lihat di sini).
Terdapat 18 nyawa manusia yang dieksekusi hukuman mati di bawah pemerintahan Jokowi selama tiga tahun. Sebagai sesama "pelaku" hukuman mati, sukar bagi Indonesia untuk bersikap keras dalam memprotes hukuman mati terhadap warganya. Akibatnya, protes yang diajukan pun seadanya, tidak bisa lebih dari itu.Â
Kedua, sebagaimana Malaysia, Arab Saudi adalah negara yang banyak "menampung" pekerja asal Indonesia, baik yang legal maupun tidak.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) tahun 2015, yang dikutip detikFinance (Lihat di sini) setidaknya terdapat 1,3 juta TKI yang berada di Timteng per akhir tahun 2014. Negara paling besar menampung TKI adalah Arab Saudi dengan jumlah TKI 1,01 juta orang.
Kemudian Uni Emirat Arab sebesar 114.000 orang, Yordania 48.000 orang, Oman 33.000 orang dan Qatar 28.000 orang. Sisanya adalah Kuwait, Bahrain, Sudan dan negara lainnya.
Artinya, jumlah orang Indonesia yang bekerja mencari hidup serta memberikan manfaat devisa bagi Indonesia tergolong besar dan jumlah ini terus meningkat setiap tahunnya.Â
Menurut data Tirto.id. Arab Saudi masih menjadi negara asal kiriman remitansi terbesar ke Indonesia dengan nominal mencapai $2,76 miliar, diikuti selanjutnya oleh Malaysia yang sebesar $2,72 miliar (Lihat di sini). Dengan kepentingan dan relasi ekonomi yang semacam itu, kian sulit bagi Indonesia untuk bersikap keras. Belum lagi Indonesia memiliki kepentingan dengan Arab Saudi dalam hal penyelengaraan keagamaan: umroh dan naik haji.Â
Pada situasi yang seperti di atas sulit rasanya bagi Indonesia untuk mampu bersikap keras dalam menghadapi masalah eksekusi atas warganya oleh Arab Saudi.
Padahal, masih terdapat sejumlah warga negara Indonesia yang masih berhadapan dengan ancaman hukuman mati tersebut.
Artinya, sampai hari ini, kita masih belum bisa berharap banyak bahwa akan ada advokasi maksimal dari negara atau pemerintah atas masalah hukuman mati yang dihadapi warganya di Arab Saudi.
Selain secara hukum kita memiliki dilema--sebab Indonesia sendiri masih memberlakukan hukuman mati--pada sisi lain, kebergantungan Indonesia secara ekonomi masih terlalu kuat terhadap negara tersebut.Â
Karena itu, tidak ada hal lain, kecuali hapuslah hukuman mati dari semua aturan hukum kita, perluas lapangan pekerjaan di dalam negeri, supaya sebagai negara, kita memiliki daya dan wibawa untuk mampu bersikap keluar.
Tanpa itu, terhadap masalah kedaulatan dan kewibawaan seperti ini, kita hanya akan sanggup bersikap yang tidak lebih daripada sekadar "basa-basi diplomatis". (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H