RIDWAN KAMIL atau Kang Emil meminta masukan khalayak melalui akun facebook-nya terkait pilihan untuk maju di Pikalda DKI Jakata tahun 2017. Banyak komentar yang hadir, baik yang mendukung maupun sebaliknya.
Terhadap masukan dari warga melalui media sosial, Kang Emil jangan meremehkannya, tetapi di saat yang sama masukan tersebut harus disikapi secara proporsional.
Banyak komentar yang ditulis warga bersifat asal, meski sudah pasti tidak semuanya demikian. Dalam arti pengetahuan mereka mengenai komplesitas pembangunan yang sedang berjalan dan dinamika politik Jakarta hari ini sebatas melalui pemberitaan media, itu pun sarat dengan propaganda.
Selama ini, konstruksi dan wacana pemberitaan beberapa media “arus utama” sudah terlampau “rusak” dan sarat dengan kepentingan kelompok politik tertentu. Pilihan-pilihan politik di luar “status quo” didesain sedemikian rupa, sehingga sesaat nampak seakan tidak ada pilihan lain lagi. Harus diakui bahwa wacana yang dibangun ini cukup menyeret nalar pembaca—meski tidak sepenuhnya berhasil—untuk percaya atas pesan “politis” bahwa mencari alternatif pemimpin di luar gubernur Jakarta hari ini adalah sia-sia.
Kritik media atas kinerja gubernur juga seadanya. Tidak ada pemberitaan sebanyak promosi atas klaim prestasinya. Tidak jarang promosi atas klaim keberhasilan kinerja “status quo” ini dibuat sedemikian dramatis. Sebaliknya terhadap kinerja yang buruk, tidak terlihat. Bahkan, kebijakan gubernur yang sarat dengan kekerasan dan penuh dengan pelanggaran atas HAM-pun dikonstruksi sedemikian rupa agar publik melihatnya sebagai sebuah “jalan kebaikan”.
Keberpihakan media yang begitu telanjang ini bisa dilihat dalam banyak hal, termasuk bagaimana media mendesain pemberitaan mengenai calon-calon alternatif di luar “status quo”: Ahok. Yang banyak disorot dan ditampilkan adalah kumpulan “bakal calon lelucon”, sebut saja AD (seorang artis), misalnya.
Desain ekplorasi pemberitaan bukan sungguh-sungguh hendak dilakukan dalam rangka mencari alternatif di luar Ahok, sebagaimana dahulu media pernah ramai melakukan pencarian alternatif di luar Foke. Sebaliknya, desain pemberitaan sejenis itu senggaja dibuat oleh media propaganda agar nalar publik kian diajak mengukuhkan bahwa “status quo” adalah tetap yang terbaik. Narasi pemberitaan sejenis juga dilakukan terhadap bakal calon lainnya. Sebaliknya, ekplorasi dan pemberitaan terhadap bakal calon yang potensial dan memiliki gagasan-gagasan bagus melawan “status quo” tidak disentuh sama sekali.
Akibatnya, publik “pembaca korban media” ini tidak sepenuhnya memiliki banyak referensi dalam membaca dinamika politik dan perkembangan pembangunan Jakarta hari ini. Apalagi, jika mereka bukan penghuni DKI Jakarta, serta bukan pula tergolong orang yang aktif dan peduli dengan kehidupan sosial sehari-hari—pola laku kelas menengah “ngehek”.
Terhadap komentar kelompok kelas menengah “ngehek”—yang dicirikan “hanya teriak kalau kakinya diijak, dan akan kembali menginjak kalau berkuasa—serta kelompok “korban media” sebaiknya dilihat secara bijak, tidak diterima begitu saja.
Lalu apakah Kang Emil perlu maju pada Pilkada DKI Jakarta? Peluang untuk itu mestinya terbuka bagi siapa pun, termasuk Kang Emil. Meski demikian, beberapa catatan ini mungkin perlu sebagai pertimbangan.
Bagi penulis, silahkan saja Kang Emil mengajukan diri jika secara pribadi memang memiliki beban untuk memperbaiki kondisi kehidupan dan tatanan buruk warga Jakarta hari ini. Alasan-alasan etis mengenai belum selesai massa jabatan, bukan lagi hal pokok. Begitu juga dengan banyak komentar terkait perlunya orang baik disebar di seluruh Indonesia, juga sesungguhnya berlebihan jika itu dipakai untuk menghadang Kang Emil untuk ke Jakarta.