Mohon tunggu...
Eka Wangge
Eka Wangge Mohon Tunggu... -

perfectly unperfect girl :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Untitled Story

21 November 2011   03:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:24 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernah kubilang, mengais sesuatu dari masa lalu,hanya akan menjadi begitu menarik kalau kau tidak bahagia di masa sekarang, namun lelaki dihadapanku tak bergeming. Dia tak pernah tampak sekurus ini tujuh tahun silam, saat kami terakhir bertemu. Pelupuknya,waktu itu,sarat dengan muatan air mata. Tak ada kata-kata, meski sorot dimatanya menggantungkan banyak tanya. Apa aku harus menanyakannya sekarang ? Tidak.

“ Kurus sekali “

Agak tak sopan memulai pembicaraan dengan mengomentari perubahan fisik orang lain. Namun,tanpa permisi,dua kata itu keluar dari bibirku. Aku tahu,dia tak akan tersinggung,seperti seharusnya ia tak boleh tersinggung,dihadapan masa lalu.

“Harusnya kau bilang, aku bertambah kurus,dekil dan hitam”

Kami tergelak. Untuk sebuah alasan yang aku tahu benar. Dia masih saja pandai membaca apa yang kusimpan di otakku, dan terkunci di bibirku. Begitulah seorang teman. Atau,barangkali seperti yang lalu, ia membaca mataku. Entahlah.

“Belakangan lebih sering di lapangan. Panas. Berdebu. Begitulah pekerjaan”

Dan begitulah hidup,bukan ? Kau pernah bilang kau dihidupi oleh keringat yang mengkristal dibawah sudut pematang yang dijejaki ayahmu. Dan ibumu, ya, aku ingat dia sebagai sosok yang tak pernah kau jumpai. Dan karena kau tak pernah melihat kasih dari sorot matanya, aku bilang, aku melihatnya di sorot matamu.

“ How’s life ? “

Akhirnya,kau menanyakannya lebih dulu.

**

HIdupku baik-baik saja,meski tak semanis Es Teh dihadapanku, kebekuan yang pelan-pelan mencair dari es batu yang mengapung mengingatkanku akan hatiku. Baik-baik saja. Aku pergi ke Universitas,belajar dengan keras dan akhirnya memperoleh pekerjaan yang aku inginkan di sebuah bank swasta. Sungguh aku baik-baik saja.

“ Aman “

Hah,aman! Aku tak percaya bisa mengucapkannya dengan santai, sembari mencecap es teh dihadapanku. Tak lupa,kuselipkan senyum simpul.

“ Kau ? “

Ya,ya,ya. Kau. Aku ingin sekali mengetahu kisah hidupmu selepas tujuh tahun yang terlewatkan ini. Apa kehidupan bersikap ramah padamu ? apa cerita hidupmu lebih ramai dari ceritaku yang datar,sepi dan kosong ?

“ Sekarang sedang sibuk kerja. Keliling-keliling mengawasi proyek di Dinas. Sebelum kesini,aku bertemu Erlyn,dan minta nomor hpmu “

Lalu aku setengah terkejut membaca sms darimu. Tahukah kau, aku butuh satu jam Cuma untuk berpikir,haruskah aku membalasnya. Dan,lahirlah alasan sedang di kampung. Kampung mana, harusnya kau bertanya. Sekarang, handphone bukan menjadi barang langka di tiap sudut kampung,yang paling udik sekalipun.

“ Apa kabar Erlyn ? “

Sungguh,aku berharap,basa-basi tak penting ini akan menjadi topik percakapan baru yang baru akan selesai saat sepiring nasi ayam dihadapanku ludes.

“ Terakhir bertemu terlihat semakin gemuk. Sibuk mengurusi dua anaknya yang masih kecil-kecil. Yang sulung berumur tiga tahun, si bungsu satu tahun. Anak itu,cepat sekali menikah “

Hey,kau pikir aku tak tahu kesibukan sahabatku. Bagaimana tampangnya hari ini,dan seperti apa rupa anak-anaknya ? Teruslah bercerita selama mungkin,sementara aku akan mengecek status facebooknya.

“ Suaminya ? “

Banyak-banyaklah bercerita tentang Aldi,suaminya. Kalian sekantor bukan ? Oh,ya, bahkan kalian rekan seperjalanan. Si tengik itu, tidak pernah mau menghubungiku sejak tiba disini.

“ Kau kenal suaminya kan ? “

“ Aldi “

“ Kami teman sekantor. Pria yang baik. Mereka berdua,pasangan yang serasi. TIap kali melihat Aldi dan anak-anaknya, aku selalu berpikir betapa beruntungnya dia. Sepertinya menikah itu menyenangkan. Oh ya, kata Aldi kau sudah bertunangan ? “

Jadi ini alasan si Tengik itu tak pernah menghubungiku sejak tiba disini. Bertunangan. Aku sudah bertunangan.

“ Ya “

“ Anak mana ? “

Aku harap kau tak memberiku sorot mata itu, sorot mata yang sama seperti tujuh tahun silam. Sorot mata yang mengatakan, aku terlambat dan sekarang kau pergi bersamanya. Sorot mata yang dalam diam ingin berkata aku mencintaimu. Tapi,kau menatapku dengan sorot yang sama. Atau aku sesungguhnya berharap,dan tertipu oleh harapanku ?

“ Teman sekantor “

“ wah,senangnya. Dapat pasangan yang dekat. Orang bilang jauh dimata dekat di hati,apalagi dekat dimata… “

Apa aku harus menertawakan nada suaramu yang bergetar menahan cemburu ? Atau aku harus menahan diriku agar tak perlu bertanya langsung, apa kau cemburu. Apa kau bisa membaca sorot mataku saat ini ?

“ Apa dia tidak marah,kau diajak makan diluar ? “

Pertanyaan cerdas. Dia pasti melihatku keluar dari kantor bersamamu bukan ?

“ Orangnya pengertian “

“ Eh,padahal waktu itu, aku hampir bilang,aku suka kamu “

“ waktu itu kapan ? “

Tujuh tahun silam saat mata kita saling bertatapan dengan pelupuk yang dipenuhi air mata ? Bulan lalu via sms ? Minggu lalu lewat percakapan singkat di telepon ?

“ Dulu. Tapi waktu itu kau sudah pacaran dengan Deni “

Ah,ya,tujuh tahun silam.

“ Aku kalah cepat “

Alasan lain untuk nyali yang tak pernah cukup berani.

“ Oh ya… ? baru tahu. Lucu juga ya kalau diingat-ingat “

Aku selalu tahu. Harusnya kau tahu.

“ Kocak “

Sinonim. Kocak dan lucu, kau tahu mereka sinonim. Lalu bagaimana dengan perasaan itu ? apa masih sama seperti saat kita membahas kata-kata bersinonim sambil duduk bersebelahan di kelas Bahasa Indonesia yang membosankan. Waktu itu kau bilang cinta bersinonim dengan sayang. Mungkin mereka bersinonim,mungkin juga tidak. Tapi mereka tak pernah berlawanan.

“ Kalau bisa diulang sekarang bagaimana ya ? “

“ heh,waktu mana bisa diputar lagi “

Meski aku mengharapkannya. Tapiaku memilih untuk tertawa di akhir kalimat.bisakah kau membaca sorot mataku.

“ Bagaimana denganmu ? “

“ Masih begini-begini saja “

Single. Aku sudah tahu dari Erlyn,dan si Tengik Aldi yang tak kunjung mau menemuiku selama disini.

“ Carilah satu,yang serius. Jangan terlalu terlihat dingin,seperti tak butuh wanita. Lihat tampangmu,kusut “

“ yang mau dicari malah sudah bertunangan “

“ kau,terlalu lama. “

“ tidak berani,barangkali. “

Barangkali ? itu pasti.

“ lalu ? “

“ Apa ? “

“ aku penasaran,kenapa Aldi tak mau diajak makan siang. “

Si tengik itu. Aku barusan mengirimkan pesan singkat agar dia menjelaskan kebohongannya. Biarkan aku memandang wajahmu,untuk memastikan ada cemburu disitu sebelum pesan ini kukirimkan.

Hening.

Aku akan menghabiskan sesuap terakhir. Lalu,jika Aldi tak pernah mau bercerita soal kebohongannya. Kenangan yang kita kais ini, akan kutaruh kembali dilipatan hatiku.

“ Lia,kau belum bertunangan kan ? “

Kulihat sudut matamu menyipit, pandangan menyelidik. Mencari tahu kebenaran tak boleh hanya dari sebelah pihak,apalagi hanya dengan membaca pesan singkat yang masuk ke handphone di genggamanmu.

Aku tersenyum.

***

Aku pernah bilang,mengais sesuatu dari masa lalu hanya akan menjadi begitu menarik kalau kau tidak bahagia di masa sekarang. Tapi meski kau bahagia, jika kau tak pernah takut dan ingin mengaisnya, kau akan lebih bahagia.

Lelaki dihadapanku balas tersenyum.

(has been through a nice conversation with my old friend)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun