Mohon tunggu...
Gita Prast
Gita Prast Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kebebasan Pers: Antara Etika dan Kuasa

4 Mei 2015   07:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:24 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, saya membaca salah satu berita yang memuat tentang kebebasan pers. Berita ini menyadarkan saya bagaimana memang kebebasan pers saat ini terkekang.

Runtuhnya rezim orde baru tidak saja menandai berakhirnya otoritarianisme politik, namun juga pers. "Kebebasan" yang menjadi jargon utama reformasi 1998 menjadikan media lebih bebas memuat berita baik pro atau kontra terhadap kinerja pemerintah. Namun, menurut saya saat ini kebebasan pers justru menjadi celah bagi pihak-pihak tertentu untuk mengintervensi berita yang dimuat. Unsur "kebebasan" ini menurut saya mulai disalahgunakan sehingga menciptakan media yang diragukan independensinya.

Bukan rahasia lagi, ketika kita melihat waktu pilpres bagaimana 2 media massa ikut "mendukung" salah satu capres. Kecenderungan media dalam mendukung capres tertentu ini terjadi karena mengikuti pemilik media tersebut yang juga mendukung salah satu capres. Hal ini tentunya berakibat buruk dalam proses pembentukan opini publik. Kecenderungan ini dapat disalahgunakan untuk meliput berita-berita yang keabsahannya diragukan, demi membentuk persepsi publik tentang aktor atau peristiwa tertentu.

Dalam meberikan informasi, media harus memperhatikan "etika", salah satunya independensi dan kevalidan informasi yang diliput, misalnya. Namun, sepertinya etika ini tertutup oleh kuatnya posisi pemilik dalam eksistensi pers itu sendiri. Peran pemilik media yang kuat berpotensi untuk mengintervensi kebenaran informasi. Lebih lagi, intervensi ini berakibat pada meredupnya sifat kritis media terhadap permasalahan tertentu. Media cenderung hanya menjadi pendukung tanpa bisa melakukan kritik terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan pemiliknya.

Saya berpikir, bahwa pers saat ini berada di antara etika dan kekuasaan. Di satu sisi, pers harus tetap berpegang teguh pada etika untuk menghasilkan informasi yang tidak 'menyesatkan' masyarakat, karena bagaimanapun media adalah aktor yang menjembatani kepentingan masyarakat untuk disalurkan kepada pemerintah. Media juga menjadi aktor yang dapat membuat sebuah kasus menjadi penting disoroti publik. Namun disisi lain, media dihadapkan dengan intervensi arus kekuasaan yang kuat, yang menyalurkan kepentingan individu daripada kepentingan publik.

Oleh karena itu, sudah saatnya penyalahgunaan arti "kebebasan" dikembalikan ke makna yang sebenarnya. "Kebebasan" bukan berarti tidak ada halangan untuk menyediakan informasi yang berpihak pada kelompok tertentu, namun dimaknai sebagai meluasnya ruang gerak pers untuk menghadirkan informasi dan melakukan kritik. Kebebasan ini harus sejalan dengan etika pers sebagai patokan utama. Jangan jadikan media sebagai "penyalur kepentingan pemilik", namun kembalikan media menjadi "penyalur kepentingan publik". :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun