Mohon tunggu...
Gilly Prayoga
Gilly Prayoga Mohon Tunggu... -

Menjadi Jiwa Merdeka berbekal seberkas cahaya...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memedi

23 Oktober 2011   12:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:36 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pojok sawah sebelah timur inilah tempatku. Pekan depan, genap empat bulan aku menjadi bagian penghuni sawah haji Imron. Selama itu pula rongga dadaku dipenuhi amarah bercampur perasaan geram yang luar biasa.

Tidak pada semuanya, hanya pada biawak sawah menyebalkan itu saja.

Seperti penghuni yang lain, tak ada hal menarik yang membuatku istimewa dibandingkan penghuni sawah lainnya. Standar saja, tubuhku terbuat dari ikatan jerarmi. Batok kelapa ditutupi caping butut sebagai kepalaku, ditambah baju rombeng sebagai penutup tubuhku.

Tugasku sederhana, menakut-nakuti burung pipit. Menilik tugasku, lebih cocok aku berseteru dengan burung pipit. Tapi rasa marahku lebih besar pada biawak sialan itu.

Bukan karena biawak itu mengusikku. Tiap kali muncul pun biawak sialan itu tak pernah mengusik atau bahkan menyentuhku.

Seperti biasanya, tiap kali muncul, biawak itu hanya menatapku dengan diselingi juluran lidah menjijikannya.

Justru hal itu yang membuatku geram. Bagiku, menatapku berarti menantang perang dan menjulurkan lidah dihadapanku berarti melecehkanku.

* * *

Sudah enam hari, biawak jelek itu tak pernah muncul.

Aargh....., begitu geramnya aku jika mengingat biawak jelek menyebalkan itu.

Kalau saja bisa, ingin ku ikat moncong jeleknya dan kugantung ekornya ditengah sawah.

Aku bisa gila karena biawak jelek itu....

* * *

Aku kini tersungkur dipinggir petakan sawah. Hujan deras tadi sore, membuat tiang penyanggaku tumbang. Tubuhku belepotan lumpur tak karuan. Aku tak biasa berada ditempat becek penuh rumput dan daun padi. Becek dan lembab, menyebalkan.

Mungkin biawak jelek itu akan tertawa terbahak-bahak melihatku tersungkur. Seharusnya, tiang pancang penyanggaku dipasang dengan kokoh, sehingga puting beliung sekalipun tak akan membuatku jatuh tersungkur.

* * *

Untuk kesekian kalinya, kembali aku tersadar, saat suara desisan terdengar makin keras dari samping kiriku. Kulihat biawak jelek itu sudah ada tepat disampingku. Lengkap dengan tatapan mata menyebalkan dan lidah menjulur menjijikan. Sebelum aku sempat berbuat apa-apa. Biawak itu sudah membalikan badannya bersiap meninggalkanku.

* * *

Sudah dua periode panen berlalu. Tiang pancangku kini lebih kokoh. Namun aku merasa ada yang kurang.

Kini, biawak menyebalkan itu tak pernah muncul lagi...

Memedi = Orang-orangan sawah (Bebegig; sunda)

Tatar Sukapura, 8 Nop. 08

Edisi menggenapkan hidup dengan orang-orang yang mengasihi kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun