[Oleh Fauziah Herlina Azhar dan Goudy Karina]
Lima tahun sekali, Indonesia selalu dipenuhi benda ini. Elemen yang selalu melekat dengan pesta demokrasi, namun tatkala membawa tragedi. Ya, Alat Peraga Kampanye (APK). Dengan adanya kemajuan teknologi, masihkah menjadi solusi atau sebenarnya polusi?
Heeey...
Yang di kiri
Yang di kanan
Yang di atas
Yang di bawah
Yang lagi nangkring di pohon
Jika diibaratkan dengan lagu, keberadaan APK seperti kutipan lirik lagu Goyang Bang Jali milik Denny Cagur di atas. Sebelas dua belas seperti saat nonton bioskop, karena keberadaan APK “All around you.” Jumlahnya jauh lebih melimpah daripada jumlah pohon di jalan raya. Bagi calon anggota legislatif (caleg) umumnya, pemasangan poster, spanduk, hingga spanduk di lokasi strategis, atau dilalui banyak orang, untuk mengkampanyekan diri kepada calon pemilih masih dianggap menjadi cara yang utama dan paling efektif; masif, tersebar, dan kenyataannya dapat menjadi langkah alternatif untuk mengurangi jumlah kegiatan interaksi langsung atau blusukan ke masyarakat. Logikanya, semakin sering kita melihat spanduk caleg yang sama di berbagai tempat, maka semakin besar kemungkinan kita untuk mengingat nama, nomor urut, dan partai caleg yang bersangkutan. Bahkan, semakin besar pula kemungkinan kita untuk memilih caleg tersebut pada kontestasi politik. Berlomba-lomba mencari suara, segala tempat dipasangi alat peraga. Memangnya, masih relevankah pemasangan APK untuk meyakinkan calon pemilih agar memilih caleg tertentu?
Perspektif Mahasiswa
Bagi Titin, seorang mahasiswi fakultas hukum, pemasangan spanduk sebagai APK sudah tidak relevan karena hanya akan menambahkan polusi saja. “Menurutku sekarang mayoritas pemilu itu anak muda, jadi udah ga relevan lagi kalo masih pake spanduk atau spanduk untuk kampanye. Selain merusak estetika jalan, penggunaan spanduk itu bisa nambah sampah yang
seharusnya bisa dihindari.”
Titin mengungkapkan, menurutnya, alangkah lebih baik jika kegiatan kampanye dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada. “Lebih baik melakukan promosi secara digital melalui media sosial, bisa TikTok, Instagram, dan lain-lain. Selain itu, yang paling penting lebih memperbanyak diskusi publik aja kayak yg dilakukan Anies kemarin, itu lebih efektif dan berguna. Tapi khusus yang udah orang tua ga menutup kemungkinan mereka itu harus liat promosi caleg ini melalui visual scr langsung, jadi biasa aja dibuat spanduk atau spanduk asalkan semua spanduk-spanduk caleg itu dijadikan di satu tempat dan di titik strategis
kayak di Jepang.”
Avisa, seorang mahasiswi fakultas teknik kimia, beranggapan bahwa penggunaan spanduk sebagai APK nyatanya tidak efektif karena banyak menimbulkan korban jiwa, menutupi jalan pengendara. “Buat alternatifnya sendiri bisa via elektronik si menurutku, atau ga langsung terjun ke masyarakat sekitar tanpa harus spanduk , karena sejatinya ya mereka kan kerja buat rakyat juga jadi seharusnya ya mereka memperkenalkan diri secara langsung dan situ bisa dikasih poster kecil kecilan dan hadiah kenang-kenangan atau apa tanpa perlu spanduk yang merusak pemandangan.” ujar Avisa.
Finish What You Start...
Meski telah terlihat perkembangan kegiatan kampanye mulai merambat ke ranah digital atau digital campaign, tapi pernahkah terlintas di benakmu, dikemanakan, atau, diapakan, sisa spanduk APK itu setelah pemilu usai? Apakah dijadikan alas duduk, genting terpal, atau hanya jadi tumpukan kotoran sampah? Mungkinkah APK itu didaur ulang?
Spanduk APK sulit diolah karena mengandung PVC, fiber, dan tinta yang berbahaya bagi lingkungan. Pada Pemilu 2024, KPU menerbitkan daftar tetap calon DPR sebanyak 9.917 dan DPD sebanyak 686 calon. Jika setiap kandidat memasang 2.000 spanduk seberat 0,35 kg, maka politisi akan mengeluarkan 21.736,15 ton CO2. Dengan jumlah sebanyak itu, jumlah CO2 sulit untuk dibayangkan dan tidak terlihat.
Sebagai perbandingan, setiap penduduk Eropa rata-rata mengeluarkan 7,2 juta ton CO2 per tahun. Emisi karbon dioksida yang dikeluarkan politisi selama masa pemilu mencapai 44.532,6 ton karbon dioksida. Angka ini bisa terus bertambah dan jumlahnya pun semakin besar. Karena jumlah emisi CO2 yang sangat besar tersebut, maka emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil di Indonesia juga akan semakin meningkat dengan perkiraan jumlah mencapai 36,8 miliar ton.
Sulit belum tentu mustahil di daur ulang. Sebuah inisiatif menarik datang dari Parongpong Recycle And Waste (Raw) Lab, perusahaan asal Parongpong, Bandung, yang fokus dalam pengolahan sampah residu. Di 2 (dua) tahun berdirinya, Parongpong mengajak masyarakat mengumpulkan spanduk yang tidak terangkut dan mengirimnya ke perusahaan tersebut pada 17-20 April 2019.
Inisiatif Menciptakan Lingkungan Inklusif, Kini Jadi Proyek Kolaboratif
Berawal dari unggahan di Instagram, ajakan Parongpong itu ramai tersebar di Instagram Story dan Twitter.