Masih dalam dunia per - volunteer - an, kali ini saya akan menulis tentang kehidupan satu - satunya suster perawat tentara Jepang di pulau Saipan. Latar dari kisah sejarah ini adalah saat pasukan Amerika beserta armadanya menginvasi Saipan di kepulauan Mariana pada 15 Juni - 9 Juli 1944.
Menurut Alexander Astroth dalam bukunya, Mass Suicides on Saipan and Tinian, 1944: An Examination of the Civilian Deaths in Historical Context, Shizuko Miura terlahir di Prefektur Yamagata, Jepang pada 1926 dan pindah ke pulau Tinian dengan keluarganya pada 1927. Dia berpindah lagi ke Saipan bersama saudarinya di awal 1940an, sementara ayah, ibu dan saudari bungsunya tetap tinggal di Tinian. Saudara tertuanya mengabdi pada Angkatan Darat Kekaisaran Jepang di Saipan.
Shizuko berada di Garapan ketika pemboman yang dilancarkan Amerika sebelum invasi dimulai. Garapan adalah pemukiman orang Jepang di pulau Saipan. Kota itu segera berubah menjadi inferno. Panas dari api yang membakar terus menerus, dan asap yang tebal membuat Shizuko sulit bernapas. Reruntuhan, puing - puing dan mayat memperlambat pelariannya dari lautan api itu. Shizuko berinisiatif mengevakuasi Garapan dan menemukan perlindungan dalam sebuah gua di selatan kota. Penderitaan dan kematian yang dilihatnya membuat dia berkeinginan mengabdi sebagai bantuan medis untuk militer Jepang dan menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa selama dia mampu.
Shizuko meninggalkan gua dan berjalan menuju sebuah rumah sakit lapangan di timur gunung Tapotchau pada lereng Mt. Donnay. Di field hospital itu terdapat ratusan prajurit yang terluka dan sekarat, baunya sangat menyengat. Dia menemui dokter kepala dan meminta pekerjaan bersama kepala perawat itu. Kepala perawat itu memberitahu agar dia pergi dan sembunyi di pegunungan. Shizuko menolak dan mengikuti di belakangnya. Sang dokter ahli bedah itu, kagum akan kegigihan Shizuko, mengangkatnya sebagai seorang "relawan perawat istimewa" ( "special volunteer nurse" ) dan memberikan sebuah helm dan ikat lengan Palang Merah untuk dikenakan. Di kamp itu hanya terdapat tiga dokter dan tujuh perawat, dan sang dokter lalu mengetahui dia akan membutuhkan Shizuko.
Shizuko membantu dokter kepala dalam setiap kesempatan yang memungkinkan. Dia merasa ragu pada awalnya namun semakin tumbuh kepercayaan diri. Tugasnya meliputi segalanya dari mengganti perban sampai operasi kecil dan amputasi. Dirinya diliputi oleh darah, kotoran dan keringat, berhari -- hari tidak tidur, namun orang - orang yang dirawat olehnya menganggap dirinya adalah malaikat. Kehadiran Shizuko mengingatkan mereka pada istri atau saudari mereka, dan mendatangkan suatu kehangatan sebelum mereka meninggal dunia.
Letnan Shinoda, seorang perwira muda yang dia tangani, tidak bisa melihat Shizuko, karena dia kehilangan kedua mata. Shizuko memberi antiseptik dan memperban luka - lukanya. Shizuko bercerita padanya bahwa kakak sulungnya di Angkatan Darat telah gugur di awal pertempuran. Sang letnan muda mengeluarkan foto istrinya memakai kimono, menunjukkan padanya. Dia telah ditenangkan oleh perawatan penuh kelembutan dan kehalusan kata - kata Shizuko. Sang perwira kemudian menyerah pada luka -- lukanya, tetapi Shizuko telah memberinya suatu kedamaian sebelum dia mati.
Pada akhir Juni 1944, tentara Amerika semakin mendekati Mt. Donnay. Para perawat diperintahkan untuk memindah rumah sakit lapangan ke sebuah desa kecil sebelah utara pelabuhan Tanapag. Yang terluka dan sekarat diperintahkan untuk bunuh diri dan granat mulai dibagikan. Shizuko menginginkan mati berssama para pasiennya, tapi dokter bedah menariknya pergi. Selagi mereka menuju ke utara, Shizuko mendengar granat demi granat yang meledak di lereng Donnay dan dia diliputi kesedihan luar biasa.
Pada buku Astroth juga diuraikan bagaimana akhir dari penderitaan Shizuko di Saipan. Penarikan mundur rumah sakit itu tidak berjalan sukses. Hampir semua peserta pengunduran itu menderita penyakit atau terluka, dan pasukan Amerika bergerak maju sangat cepat. Dokter kepala dan lainnya menyarankan Shizuko untuk menyerah dan mereka akan bunuh diri. Shizuko yang takut akan diperkosa dan disiksa oleh musuh mencoba bunuh diri.
Shizuko mengambil sebuah granat, menarik pinnya dan memukulkan pada sebuah batu, kemudian menempelkan badannya ke granat. Granat meledak! Shizuko terluka parah, namun dia selamat dari ledakan dan diselamatkan oleh pasukan Amerika.
Ia menyaksikan pemandangan menyedihkan sebagai akhir dari bunuh diri massal. Dia bersyukur bahwa dia tidak mati. Ketika di rumah sakit dalam proses penyembuhan, dia melakukan apa yang bisa dilakukan untuk menolong pasien warga sipil. Shizuko dipulangkan ke Jepang pada 1946 dan menertbitkan memoarnya Praying on Saipan Island ( Saipan Jima ni Inoru ) di tahun 1965.
Sumber :Â