Tidak Ada Sepak Bola yang Seharga Nyawa Manusia. Kata - kata ini membanjiri beranda media sosial dan pemberitaan pasca 'tragedi' di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. (saya memberi tanda kutip pada kata tragedi. Akan diuraikan di paragraf selanjutnya).
Tidak Ada Sepak Bola Seharga Nyawa Manusia. Yah, kesadaran, jargon ini muncul setelah ratusan nyawa melayang sia - sia.Â
Orang tidak lagi serius membahas skema dan taktik permainan, yang tersisa adalah duka dan air mata.
Malang, kota sejuk yang bisa seketika membara karena bola, hening dalam duka. Aksesoris Arema FC yang hampir ada di semua titik, dipandang gamang.
Selain itu, kegembiraan yang mewarnai sepak bola tanah air karena Timnas Indonesia sedang dalam performa bagus, naik peringkat paling tinggi dibandingkan negara - negara zona Asean lainnya, serempak tersisihkan.
Poinnya, kegembiraan atas prestasi, kemenangan dan seterusnya, menjadi bisu ketika dihadapkan pada urusan nyawa manusia.
Tubuh yang kaku dan tak bernyawa, tetap menjadi bagian mendasar eksistensi manusia yang terpaut erat dengan kemanusiaan, bahkan ketika tak terlihat atau sudah terurai.
Melukai tubuh merusak kemanusiaan. Atas dasar kemanusiaan inilah, untaian doa dan lilin yang menyala, mengheningkan cipta, menjadi simbol penghormatan atas eksistensi manusia dan kemanusiaannya.
Jika Tidak Ada Sepak Bola yang Seharga Nyawa Manusia, maka sepak bola itu untuk manusia, bukan sebaliknya. Hal ini juga mendasari setiap kebijakan, perencanaan, giat, apapun bentuknya.
Manusia memang mahkluk 'menjadi' (berproses), namun kita tidak menginginkan langkah mundur bukan?