r.c.m.d : baca sambil dengarin instrument lebih asik
Kadang mencari nafkah membuatku lupa akan waktu, menempuh perjalanan bermil – mil jauhnya, hanya untuk sekarung beras serta tabungan untuk sekolah anakku. Aku bekerja selepas subuh, hingga menjelang maghrib. Aku sering lupa mengisi perutku dengan sepiring nasi atau sebungkus roti. Namun begitu, sebotol aqua sering menemani aktifitasku mengais Rezeki.
Anakku yang nomor satu sekarang sudah kuliah, dia menjadi perantau yang kuat. Sampai – sampai dia lupa menanyakan kabar berita tentangku atau tentang Ibunya. Aku sangat memahami aktifitasnya sebagai seorang mahasiswa, sehingga aku pun takut menghubunginya.. Mungkin mengganggu aktifitas belajarnya. Dia adalah anak yang kuat dan pintar, dia kebanggan keluarga.
Aku sering memungut Rezeki dengan menjadi kuli bangunan, bekerja di tempat yang berbeda – beda bahkan sampai keluar daerah. Banyak orang yang meragukan kemampuanku menyekolahkan anak – anakku hanya karena profesiku sebagai seorang kuli bangunan. Keraguan mereka ku tepis dengan, prestasi anak – anakku di sekolah dan universitas.
Kami memiliki dua putera, yang nomor satu sudah semester lima, sementara adikknya masih duduk di bangku kelas satu SMA. Mungkin mereka belum menjadi orang yang sukses, tapi aku yakin suatu saat mereka akan menjadi orang terbaik di bidang mereka.
Ada sebuah kejadian lucu namun memalukan bagi seorang ayah. Yaitu ketika si bungsu menanyakan sesuatu menyangkut ilmu pengetahuan. Waktu itu, Ia menanyakan tentang negara yang paling kecil di dunia. Spontan saja, aku hanya berpikir sejenak dan langsung menjwab ‘Brunei’. Ia pun langsung menuliskannya di kertas kosong, katanya itu salah satu soal pekerjaan rumah. Seingatku waktu itu, Ia masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar.
Esoknya ketika kami makan malam, si bungsu terlihat diam dan murung aku langsung menegurnya serta memprotes kemurunganya itu. Dengan nada kesal Ia kemudian berbicara.. Ia menuduhku sebagai seorang pembohong, aku terkejut apa yang telah ku lakukan. Ia mengatakan ‘ayah berbohong dengan jawaban ayah yang mengatakn negara terkecil di dunia adalah Brunei!, sebab kata Ibu guru negara terkecil di dunia adalah Vatikan’.
Aku menahan nafas sejenak, menyesali kesalahanaku dan kemudian berbicara pelan kepadanya ‘Nak maafkan ayah, tak ada niat bagi ayah untuk membohongimu. Jawaban itu adalah jawaban yang jujur dari ayah, ayah bukanlah orang yang berpendidikan, ayah hanya menebak saja karena takut kamu kecewa. Maafkan ayahmu yang bodoh ini ya nak’. Ia menangis, karena kesal aku memberikan jawaban yang salah. Seharusnya aku tak usah menjawab pertanyaan itu dan mengatakan bahwa aku tidak tahu.
Bodoh memang, Seseorang yang tidak lulus SD seperti diriku, yang hari – harinya hanya di temani dengan material – material bangunan, seharusnya tidak menjawab pertanyaan itu. Karena jawaban bodohku itu. Si bungsu menjadi bahan olokan di kelasnya. Lain kali aku tidak akan menjawab pertanyaannya jika aku benar – benar tak tahu. Tugasku hanyalah mencari nafkah.
***
Minggu berganti bulan, tahun pun menyambar.Saat ini anak pertamaku sudah semester tujuh, dan katanya tak lama lagi dia akan di wisuda. Betapa senangnya aku, betapa senangnya setiap orang tua yang melihat anak mereka menjadi serjana, apalagi orang tua seperti aku yang hanya seorang kuli. Oh.. Tuhan, alangkah senangnya aku. Ketika nanti melihatnya wisuda.
Kegembiraanku bertambah karena si bungsu telah di jamin untuk berkuliah pada salah satu universitas terkemuka di Kota Ternate, dia menjuarai lomba matematika tingkat nasional. Oleh karena itu, pihak kampus telah melamarnya menjadi mahasiswa, walaupun dia belum lulus SMA.
Sungguh kebahagian yang tak terkira sedang menghampiriku bak hujan lebat yang turun di musim kemarau!
Isteriku terlihat bahagia, dengan prestasi anak – anak kami. Isteri yang anggun dan bersahaja itu, adalah motivasi terbesarku, aku begitu bahagia melihat senyumnya yang merona itu. Senyumnya menyiratkan makana yang begitu dalam. Dia kemudian mendekatiku dan berbicara pelan ‘Suamiku, aku bangga dengan apa yang kau lakukan’. Aku membalas pujian itu dengan senyuman saja, dan langsung di balasnya dengan senyumannya yang tulus dan merona itu.
***
Dua bulan telah berlalu, aku masih bergelut dengan material bangunan. Saat ini aku sedang bekerja di luar daerah, aku berniat mengumpulkan uang sebanyak mungkin agar bisa pergi ke Kota Ternate demi merayakan kelulusan anakku yang sebentar lagi akan di wisuda!.
Setelah bekerja dari pagi tadi, aku kemudian ijin untuk isterahat Aku menuju barak untuk ber iserahat sejenak hilangkan penat. Setelah beberapa menit tertidur, aku kemudian mengganti pakaianku, ketika hendak memakai sepatu, getaran kecil di balik saku celanaku mengagetkanku. Aku meraih HP-ku… ternayata ada sebuah panggilan dari no yang tidak di kenal, aku langsung menjawab panggilan itu.
‘Salam’alaikum apakah ini dengan Pak, Bayan.?’
‘Walaukum’salam.. Iya benar ini saya Bu, ini dengan siapa ya..?’
‘Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggangu aktifitas bapak’
‘Oh.. gak apa – apa Bu… kalau boleh tahu ada keperluan apa ya Bu’
‘Saya Ibu Kosnya Ziran’
‘Oh.. Maaf Bu, saya tidak tahu kalau ini no Ibu.. Apakah Ziran belum membayar uang kosnya..?’
‘Oh.. Tidak pak’
‘Oh.. mungkin uang listriknya belum di bayar, nanti Ibu kirimkan saja no Rek. Ibu, biar saya transfer’
‘Tidak pak, bukan itu tujuan saya menelpon bapak.. Saya ingin memberi tahu bapak, bawa Ziran.. Zir..’
‘Ziran kenapa Bu, dia berbuat kasar kepada Ibu ya, jika begitu dengan ketulusan hati saya yang terdalam saya minta maaf atas perbuatan anak saya’
‘Tidak pak... Ziran anak bapak telah meninggal di kamar kosnya, akibat overdosis. Kami melihat jarum suntik masih menempel di tangannya’ Ter-isak Ibu kos anaku. Dia kemudian bercerita tentang apa yang membuat Ziran sampai meninggal gara – gara narkoba.
Aku terkejut… Dengan tatapan tajam kedepan tanpa suara, tubuhku seakan kaku… mati rasa. Langit seakan runtuh, terjepit hati seperti di tusuk berulang – ulang.
‘Oh.. Tuhan, kenapa harus dia, kenapa tak kau ganti dengan diriku saja, tidak lama lagi dia akan di wisuda. Kenapa tidak kau biarkan anakku merasakan kebahagiannya menjadi sorang serjana dan mendapatkan pekerjaan yang baik.
Usahaku selama ini ternyata kau balas dengan kematian putra kebanggaanku. Tak lama lagi dia akan menjadi kebanggaan keluarga kami yang miskin ini. Apakah pantas bagiku mendapatkan semua ini, apakah pantas bagiku menerima duka ini. Apa hikmah yang dapat ku ambil dari cobaan ini, bukankah aku telah berusaha untuk keluar dari cobaan kemiskinan ini.‘
Sedih.. Air mata bercucuran membasahi wajahku, aku hancur, aku tak kuat kehilangan putraku. Semua yang ku lakukan hanya untuk Ziran dan adiknya.
***
Ku tinggalkan pekerjaanku dan langsung menuju rumah, aku telah berpesan pada Ibu kos Ziran agar Jenazah Ziran di kirim sebelum aku tiba di rumah. Aku takut Isteri-ku akan lebih sedih melihat jasad anaknya yang terpampang di hadapannya, tanpa ada berita duka.
Ketika samapai di rumah, seperti biasa isteriku menyambutku dengan senyum merona. Aku mengucapkan salam kepadanya kemudian membalas senyumnya dengan senyum yang ku paksakan. Aku bernecana memberitahukan kabar duka tentang anak kami, selepas shalat Ashar, ya. Sudah lama aku gak shalat, dulu kita sering shalat bersama di kamar.
Sehabis mandi aku mengajak isteriku menuju kamar, aku mengajaknya untuk shalat berjamaah. Dia sedikit bingung dengan tingkahku hari itu, namun begitu dia tak berkata sapatah kata pun. Dalam shalat aku berdoa, meminta petunjuk dan ketabahan dalam menghadapi setiap cobaan.
Setelah selesai shalat, aku berbalik demi menyatukan pandanganku dengan isteriku, dia kemudian meraih tanganku dan menciumnya dengan santun. Aku memberanikan diri untuk berbicara kepadanya, karena waktu seperti ini adalah waktu yang pas untuk mengungkapkan apa yang terjadi dengan anak kami, Ziran.
***
Terkejut, salut, dan bingung.. setelah semua tentang Ziran ku muntahkan, isteriku hanya meresponya dengan biasa saja dan mengatakan bahwa dia sudah tahu berita itu dari si bungsu, sebab si bungsu sudah sering berkomunikasi dengan teman – teman kakanya. Tak ada sedih di wajahnya, dia malah menghawatirkan aku, dia tidak mengabariku karena takut aku akan frustrasi.
Aku bingung bercampur legah, apa alasan yang tepat baginya sehingga begitu tenang menghadapi cobaan ini. Aku kemudian bertanya kepadanya dan, dia pun menjawabnya dengan sebuah kutipan dari Kitab Allah.
‘Hai orang-orang yang beriman! Janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu mengingat kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian' maka mereka termasuk orang-orang yang merugi." (Q.s. Al-Munaafiquun: 9)’
Ia kemudian melanjutkannya dengan mengutip ayat yang lain.
‘’ Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,..” (QS. Al-Baqarah: 153)’
Sungguh Isteriku adalah malaikat penolongku, disaat aku jatuh dan lupa akan Allah. Dia mengingatkanku tentang Allah, dia begitu tabah menghadapi cobaan ini. Sungguh dia adalah wanita berhati bijak dan suci, sebab dia telah menyadarkan aku bahwa tanggung jawabku masih ada, aku masih memiliki seorang anak.
Dan cobaab yang Allah berikan adalah sebuah pengingat agar aku lebih dekat kepada anak – anaku. Aku harus bisa mengarahkan mereka kepada kebaikan, bukan sekedar mencari nafkah.
Aku sadar, sangat jarang berkomunikasi dengan anak tertua kami. Sehingga dia telah jauh meninggalkan ajaran agamanya. Ini adalah teguran, seharusnya aku lebih bijak dalam menyikapi persoalan ini. Aku sadar, telah lalai mengaingat Allah. Aku harus lebih dekat kepadanya, agar kejadian seperti ini tidak menimpa si bungsu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H