Beberapa hari ini—kalau boleh dibilang begitu—banyak orang (terutama di dunia maya) terlihat alergi atau mungkin ketakutan dengan Surat Edaran bernomor: SE/6/X/2015, tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau bahasa bekennya Hate Speech. Orang – orang tersebut kalau menurut saya, kemungkinan: 1) Gemar fitnah; 2) Suka Ngegosip; 3) Egois yang reaksioner (narsisis) tapi lemah fakta dan data; 4) Suka Ngebully; 5) Masih Labil; dan lain – lain.
Kemungkinan terbesarnya lagi, orang – orang tersebut tidak tahu kitab – kitab hukum atau undang – undang beserta hirarki perundang – undangan. Padahal jika melihat isi dari Surat Edaran tersebut, tidak ada yang baru dan tidak ada hukum baru di dalamnya. Yang ada hanyalah anjuran cara penanganan suatu persoalan yang timbul dari ujaran kebencian yakni (angka 2 huruf f - SE): 1) Penghinaan; 2) Pencemaran Nama Baik; 3) Penistaan; 4) Perbuatan Tidak Menyenangkan; 5) Memprovokasi; 6) Menghasut; dan 7) Penyebaran Berita Bohong. Hal – hal terkait memang dapat menimbulkan pertikaian (persoalan) antara individu atau kelompok, yang karenanya maka harus ditangani dengan baik. Orang waras mana yang mengiyakan perbuatan – perbuatan demikian?
Itulah mengapa dalam Surat Edaran tersebut dianjuran agar kepolisian melakukan tindakan preventif terlebih dahulu sebelum masuk pada ranah peradilan. Ini kalau dalam ilmu hukum disebut Mediasi Penal, yang walau tidak dikenal dalam hukum Pidana namun bisa diterapkan berdasar atas asas kekeluargaan (hukum tak tertulis). Bukankah tindakan preventif yang dianjurkan Surat Edaran tersebut sangat--kalau kata anak gaul--Indonesia Bangat!
Tindakan preventif tersebut pun mirip dengan tradisi kebanyakan suku yang ada di Indonesia yang jika bersengketa, mereka lebih mengutamakan pendekatan kekeluargaan (adat) guna mencari penyelesaian suatu masalah. Ketakutan yang lain dari timbulnya Surat Edaran ini adalah kemungkinan adanya penyalahgunaan wewenang oleh oknum, yang secara empiris memang sering melanda masyarakat Indonesia. Namun, yang perlu diingat adalah permasalahan penyalahgunaan wewenang dalam sejarah bangsa ini adalah sesuatu yang telah terjadi—boleh dikata sebelum adanya Surat Edaran ini—bahkan jauh sebelum saya dan anda yang seumuran dengan saya lahir ke dunia! Karenanya, menurut saya, tidak perlu berlebihan merespon Surat Edaran ini, sebab isinya hanyalah suatu pendekatan penanganan persoalan yang timbul dari ujaran kebencian.
Kalau kata Gus Dur: Gitu aja kok repot! Sanksi pidana yang diberlakukan jika pendekatan preventif tidak membuahkan hasil konstruktif yakni: Pasal 156-157, 310-311 KUHP; Pasal 28 jis Pasal 45 ayat (2), UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; Pasal 16 UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Jika telah terjadi konflik sosial yang didasari ujaran kebencian, maka landasan hukum yang digunakan yakni: UU No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial. Sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran tersebut.
Â
Demikianlah, semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H