Barangkali hidup hanyalah kumpulan dari potongan-potongan peristiwa, yang barangkali pula, tidak akan pernah kita ketahui keseluruhannya secara penuh.
Tentu bukan salah siapa pun jika kita hanya menjalani hidup dengan dan berdasarkan potongan-potongan itu. Ini hanya karena kita manusia biasa yang selalu memiliki keterbatasan. Mata kita misalnya, tidak akan bisa melihat mulut kita, apalagi punggung kita, jika tanpa bantuan cermin.
Cut Off karya sutradara teater Riyadhus Salihin telah menjadi cermin bagi saya untuk menyadari kondisi keterpotongan tersebut. Pementasan yang digelar 6 Juni 2016 di Selasar Soenaryo (Bandung) ini membuat saya, seorang awam dalam dunia per-teater-an, tidak berhenti terbahak-bahak. Ke-awam-an saya, pada titik ini, merupakan suatu kelebihan, karena saya membiarkan diri saya hanya menikmati karya, serta saya dapat membebaskan tubuh saya dari obsesi pikiran yang selalu ingin memahami segala sesuatu.
Sebagaimana judulnya, pementasan ini bertabur interupsi. Berkali-kali saya mesti membagi pandangan dan fokus saya antara apa yang dihadirkan di hadapan saya, dengan apa yang tiba-tiba muncul di sekitar ---bagian samping/sisi tempat duduk--- penonton.
Bagian kisah yang paling membuat saya tergelak adalah ketika tiga aktor sibuk berteriak-teriak menjajakan pakaian dengan aneka iming-iming keuntungan jika memakainya. Suara mereka bertiga, saling mengganggu dan memotong satu lain. Mereka menawarkan, dan sekaligus pula sibuk memakai berbagai pakaian yang mereka tawarkan, seolah-olah mereka adalah manekin. Kesemua pakaian tersebut dipakai acak begitu saja. Tubuh ditutup, ditumpuk, dibebat oleh berbagai pakaian yang kusut bahkan juga amat tidak cocok : tidak cocok satu sama lain, dan tidak cocok dengan pemakainya.
Seperti bercermin, melihat tingkah polah mereka membuat saya membayangkan kehidupan sehari-hari. Saya memakai ponsel Sony, tablet Samsung, laptop Lenovo, televisi LG, makan bergantian antara masakan Padang, ayam bakar, dan Chinese food di rumah-makan dekat rumah, menggunakan mobil Toyota, menonton serial Korea, memakai body lotion whitening, memakai sabun The Body Shop, mengecat rambut, memakai tas kulit buatan pengrajin Yogya, membaca buku filsafat serta kajian budaya, menyalahkan kapitalisme, dan karena terlampau banyak, entah apa lagi. Kesemuanya itu saya tempelkan begitu saja dalam tubuh, bahkan kedirian saya.
Sama seperti iming-iming yang dilontarkan salah satu aktor dalam dialognya “Beli baju ini, ini baju bekas kurator. Pakai baju ini akan jadi kurator!”, barangkali seperti itu pulalah saya. Saya tidak hanya membeli aneka barang, melainkan juga membeli aneka imaji dan proyeksi. Saya membeli lotion whitening, mungkin karena diam-diam saya mengharapkan kulit seputih artis Korea yang saya tonton dalam drama. Saya membaca buku filsafat dan menyalahkan kapitalisme, mungkin karena diam-diam saya hanya ingin sekedar tampil berbeda. Saya makan makanan yang dibeli dekat rumah, mungkin karena saya diam-diam lebih rela menggunakan uang saya untuk membelanjakan Sony, Samsung, Lenovo, dan LG.
Berbeda dengan puzzle, potongan-potongan yang kita tempelkan pada diri kita rasa-rasanya tidak membuat kita semakin utuh. Kita justru kian kebingungan berada di tengah medan tarik-menarik. Kita berbicara mengenai be yourself, sembari dipusingkan oleh penyeragaman trend fashion terkini. Kita berbicara mengenai gaya hidup sehat, sembari dimanjakan oleh berbagai kemajuan teknologi yang hanya membuat kita terpana di depan gawai. Kita berbicara mengenai demokrasi, sembari mengelus dada melihat aksi mereka yang anti demokrasi. Kita merayakan hari raya keagamaan, sembari merayakan gaya hidup dengan sama mewahnya. Kita berteriak bahwa hidup makin susah, sembari menghamburkan uang untuk sekedar menonton konser artis luar. Kita memakai kebaya, sembari memadankannya dengan tas dan alas kaki bermerek internasional. Akibatnya, kita seperti menghidupi kedirian yang ganjil sebagai efek dari menempelkan berbagai potongan.
Perkara kedirian bukan hanya perkara di tingkat individu, melainkan juga dapat ditarik pada tingkat diri ke-Indonesia-an. Apa saja yang sudah kita tempelkan dan bebatkan secara serampangan pada tubuh ke-Indonesia-an?
Dalam babak akhir Cut Off, Riyadhus Salihin yang juga berperan sebagai penulis naskah, mengajak kita untuk melepas semua pakaian-pakaian (baca : atribut-atribut) pakaian itu. Kini ketiga aktor bertelanjang dada dan hanya menyisakan pakaian dalam. Pakaian dalam yang mereka sisakan, tentu tidak cuma perkara kepatutan berkarya di ruang publik, melainkan juga menunjukkan bahwa sebagaimana pun kita melepas atribut-atribut itu, keadaan sepolos kertas putih tidak pernah ada.
Cut Off ditutup dengan adegan ketiga aktor melempari citra sosok mereka bertiga yang diproyeksikan pada layar proyektor dengan semacam gumpalan tanah liat. Mungkin Riyadhus benar, sesekali kita memang mesti mengambil jarak dari imaji dan proyeksi diri, dan melemparinya. Tentu tidak dengan tanah liat, melainkan dengan aneka pertanyaan dan sentakan yang menggedor nurani. Cut Off, pada titik ini, sudah berhasil memotong hidup keseharian saya, menginterupsi, dan mengingatkan saya untuk lebih mawas diri.