Mohon tunggu...
Goris Lewoleba
Goris Lewoleba Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni KSA X LEMHANNAS RI, Direktur KISPOL Presidium Pengurus Pusat ISKA, Wakil Ketua Umum DPN VOX POINT INDONESIA

-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Intoleransi dalam Demokrasi Kebangsaan

11 Januari 2021   08:39 Diperbarui: 11 Januari 2021   09:24 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hal inilah  yang melatarbelakangi LSI (Lembaga Survey Indonesia)  melakukan Survei Nasional mengenai tren persepsi publik tentang Demokrasi, Korupsi, dan Intoleransi.

Dilaporkan  bahwa,  survei dilakukan selama 1-7 Agustus 2018 dengan melibatkan 1.520 responden Muslim dan non-Muslim. Hasil survei memperlihatkan bahwa, salah satu penyebab kemunduran demokrasi di Indonesia adalah "Kebebasan Sipil" sebagai derivasi dari Pemberlakuan Sistem  Demokrasi itu sendiri.

Terkait  dengan hal itu,  maka ukurannya adalah bahwa,  apapun latar belakang agama, sosial, dan etnik, setiap orang  mestinya mendapat peluang yang sama untuk menjadi pejabat publik atau menjalankan hak beribadah, berkeyakinan, dan berekspresi sesuai dengan Ajaran Agama  dan Kepercayaannya itu.

Lebih lanjut dijelaskannya bahwa, secara teknis,  ada enam pertanyaan yang diajukan, dimana empat pertanyaan terkait dengan Intoleransi Politik,  dan dua lainnya mengenai Intoleransi Religius dan Kultural.

Pertanyaan terkait dengan Intoleransi Politik kepada responden Muslim di antaranya adalah apakah Anda keberatan atau tidak keberatan,  jika non-Muslim menjadi Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Bupati atau Wali Kota. Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada responden non-Muslim.

Sedangkan pertanyaan terkait Intoleransi Religius  misalnya soal izin mendirikan rumah ibadah bagi Muslim atau non-Muslim serta Perayaan Keagamaan di sekitar tempat tinggal Anda.

Atas hasil survei tersebut dilaporkan bahwa,  mayoritas Warga Muslim (54 persen) tidak keberatan jika orang non-Muslim mengadakan acara keagamaan di daerah sekitarnya. Tetapi sebagian besar Warga Muslim (52 persen) keberatan kalau orang non-Muslim membangun Rumah Ibadah di sekitar tempat tinggalnya.

Demikian  juga dijelaskan bahwa, 52 persen Warga Muslim juga keberatan jika orang non-Muslim menjadi Wali Kota, Bupati, atau Gubernur. Sebanyak 55 persen Warga Muslim juga keberatan jika orang non-Muslim menjadi Wakil Presiden. Penolakan makin besar ketika jabatan yang ditanyakan adalah Presiden, di mana 59 persen Warga Muslim keberatan bila non-Muslim menjadi Presiden.


Sebaliknya, dinarasikan juga bahwa,  mayoritas warga non-Muslim (84 persen) tidak keberatan jika orang Muslim mengadakan acara keagamaan di daerah sekitarnya,  70 persen tidak keberatan bila warga Muslim membangun tempat ibadah, di sekitar tempat tinggalnya, dan 78 persen tidak menolak kalau orang Muslim menjadi Wali Kota, Bupati, atau Gubernur, dan 86 persen warga non-Muslim tidak keberatan jika orang Muslim menjadi Presiden atau Wakil Presiden.

Kemudian,  Burhanuddin (ibid) menjelaskan bahwa Intoleransi Politik terhadap non-Muslim terus berlanjut dan efeknya mulai menular ke level sosial dalam  sudut pandang yang lebih luas.  Dijelaskannya pula bahwa,  sebelum ada Gerakan 212, tren Intoleransi Politik dan Intoleransi Religius  memang berada pada posisi sosial yang landai.

Sehubungan dengan itu, ditegaskannya pula bahwa,  bukan Gerakan  212 yang merupakan puncak dari radikalisme dan intoleransi,  tetapi Gerakan  212 yang justru membuka keran terhadap makin naik dan maraknya perilaku intoleransi di muka publik dalam negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun