Suatu hari selepas duhur, saya bergegas menyusuri koridor rumah sakit. Setelah melewati petugas screning dan melintasi lobi utama, saya segera mencari  lift dan menuju ke lantai 3 tepatnya ke ruang tunggu bedah sentral. Setibanya disana saya melihat banyak keluarga dengan wajah penuh harap sekaligus kecemasan duduk memenuhi kursi tunggu.
Sesaat setelah duduk saya mengatur nafas, kemudian memberanikan diri bertanya kepada salah seorang wanita paruh baya yang duduk tepat di samping kanan, darinya saya memperoleh informasi ternyata saya telah beberapa kali dipanggil. Petugas kamar bedah saat itu menitipkan pesan bahwa operasi pengangkatan kanker rectum suami saya telah selesai dilaksanakan dan sekarang beliau berada di ruang HICU (High Intensive Care Unit). Setelah berterima kasih, saya melangkahkan kaki mencari lift tujuan saya adalah ruang HICU di lantai 4. Â Di depan ruang HICU saya bertemu dengan petugas keamanan yang meminta saya menemui beberapa perawat wanita di pintu masuk. Para perawat tersebut menanyai identitas dan mempersilahkan saya menemui suami dengan durasi hanya 5 menit. Ketika saya masuk ruangan HICU saya menemukan pemandangan tak biasa. Beberapa pasien pasca operasi tergeletak di atas ranjang dengan banyak kabel dan selang bertebaran menutupi tubuh bagian atas. Berbagai mesin alat bantu hidup bekerja menghasilkan nada yang sungguh membuat saya ngilu. Sambil menata hati dan melipat kesedihan saya menghampiri tubuh lemah di pojok ruangan, berusaha memberikan motivasi dan mengingatkan untuk terus berdzikir. Tak banyak kata yang bisa saya rangkai, sebab waktu yang diberikan ternyata sudah habis. Saya bergegas meninggalkan ruangan, tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada para perawat sambil menitipkan pesan agar mengingatkan suami untuk shalat 5 waktu semampunya.
Pintu ruang HICU dibuka oleh petugas pengamanan dan saya dipersilahkan menunggu di sebuah ruangan transit berukuran 8x8 m yang dipenuhi mural khas anak-anak. Beberapa wajah terlihat terduduk lesu, menyiratkan kecemasan. Beberapa diantara mereka mengulaskan senyuman, mempersilahkan saya untuk duduk. Suasana sesaat kemudian menjadi cair, kami saling memperkenalkan diri lalu kemudian bertukar cerita tentang latar belakang keberadaan kami disini sekaligus berkisah tentang betapa gigihnya perjuangan melawan kanker yang harus di lalui pasien dan keluarganya. Keluarga pasien adalah juga penyangga utama dari mereka yang sedang diuji Tuhan dengan cobaan maha berat. Banyak dari mereka yang datang dari penjuru negeri dan mengorbankan apa saja yang mereka miliki dengan satu tujuan, menyelamatkan jiwa orang-orang yang mereka sayangi.
Tak ada yang bisa menebak alur hidup manusia. Begitupula untuk memahami takdir baik dan buruk yang Tuhan berikan. Seorang ibu dengan wajah lelah bercerita tentang bagaimana anaknya, bayi usia 6 bulan terdiagnosa leukimia, atau ibu dari bayi lainnya berumur 1.2 tahun menderita kanker prostat. Tuhan rupanya sudah mendesain cerita sedemikian epicnya. Disudut lain seorang gadis usia belasan nampak murung di pojok ruangan, penantian selama 2 minggu di depan ruang HICU serasa begitu memilukan. Hari-hari dilalui dengan menatap pintu ruang HICU dan berharap namanya dipanggil, sebagai tanda perbaikan kondisi pasien dan akan segera dipindah ke ruang rawat inap. Di ruangan Bercat serba hijau ini saya banyak belajar mengenai arti kesabaran, bahwa kepedihan akan sedikit terkurangi getirnya ketika kita saling berbagi beban, sekaligus saling menguatkan bahwa masih ada harapan yang harus diperjuangkan untuk hari esok.
Pagi ini sebungkus nasi kuning berisi lauk ala kadarnya diberikan seorang ibu paruh baya di hadapan saya, mereka rupanya memperhatikan bahwa semenjak kemarin saya belum makan. Mereka bilang bersedihlah secukupnya tapi jangan lupakan hak badan untuk menerima nutirsi. Alhamdulillah, sebungkus nasi ini terasa begitu nikmat, sejenak saya bisa melupakan nyeri di badan akibat tidur mematung di kursi tunggu sepanjang malam, juga hembusan penyejuk udara yang kadang membangunkan rasa mual. Terima kasih orang-orang baik yang telah mengingatkan bahwa asa itu harus digenggam erat, tak peduli seberapa berat beban di pundak. Tabik
RS Dharmais, 4 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H