Perpustakaan bagi orang tertentu adalah tempat ternyaman untuk membuka wawasan. Dari sana biasanya lahir inspirasi yang bermanfaat. Tak jarang jika orang mendekam berjam-jam di perpustakaan sekadar untuk menemukan inspirasi.
Saya sering bertemu beberapa sahabat saya yang rajin mengunjungi perpustakaan. Beberapa dari mereka memang pernah menjadi dosen dan sekarang emeritus. Beberapa lagi pernah bekerja di lapangan yang jauh dari dunia perbukuan atau ilmu pengetahuan. Tetapi, saat pekerjaan itu ditanggalkan, mereka kembali ke perpustakaan.
Satu di antara beberapa pernah saya tanya alasannya. Dia memang termasuk pengunjung yang punya jadwal tetap. Tiga kali seminggu pada jam yang sama. Biasanya, pagi dari jam 10 sampai 11.30, setiap hari Selasa, Rabu dan Jumat. Alsannya saat saya tanya cukup membuat saya kagum dan heran. Jawabnya, saya datang ke perpustakaan untuk memperbarui kepala saya. Singkat, padat, dan jelas. Lanjutnya lagi, di perpustakaan biasanya selalu ada hal baru. Jadi, kalau mau tahu yang baru, datanglah ke sini.
Saya kagum dan terharu dengan jawabannya. Sudah tua tetapi masih rajin baca dan mencari buku terbaru. Meski, di perpustakaan juga tidak semuanya baru. Toh, ada juga perpustakaan yang justru menjadi prestisius karena mengoleksi buku kuno. Buku yang menjadi tanda sejarah di masa tertentu. Ini contohnya.
Gambaran tentang perpustakaan sebagai tempat ternyaman tidak selamanya berlaku bagi semua orang. Orang tertentu melihat perpustakaan sebagai tempat terbelenggu. Kata mereka, ngapain ke perpustakaan, buang-buang waktu saja. Banyak pengetahuan yang ada dalam buku sekarang bisa ditemukan di internet. Jadi, tidak perlu lagi ke perpustakaan.
Ini juga termasuk gambaran orang tentang perpustakaan. Gambaran ini lahir dari konsep bahwa, perpustakaan identik dengan tempat membaca. Konsep seperti ini otomatis mematikan nyali orang yang tidak berminat dengan kegiatan baca-membaca. Dari sini juga lahir, kecenderungan untuk tidak mengunjungi perpustakaan. Perpustakaan dengan demikian menjadi tempat yang tidak menarik untuk dikunjungi.
Cara seperti ini yang digunakan oleh pengelola Perpustakaan San Teodoro di kota Genova, Italy. Perpustakaan ini memang tidak menyediakan buku. Jadi, jika konsep orang tentang perpustakaan masih berkaitan dengan tempat menyimpan buku, perpustakaan ini bisa mematahkan konsep itu.
Perpustakaan dengan nama โBiblioteca del giocattoloโ ini hanya menyediakan jenis-jenis mainan anak-anak. Dari isinya, bisa ditebak, perpustakaan ini hanya sebagai tempat bermain. Sasarannya juga kiranya bukan orang dewasa tetapi anak-anak dan remaja. Lalu, apakah fungsi perpustakaan yang identik dengan kawan perjalanan dari bidang pendidikan sudah hilang? Rasa-rasanya terlalu dini menilai YA sudah hilang.
Perpustakaan ini memilih nama Perpustakaan dan bukan Tempat Mainan justru karena tujuan utamanya adalah mendidik dan bukan bermain. Perpustakaan yang dirintis pada 17 Desember 2016 ini memang ingin mendidik ana-anak di kota Genova melalui berbagai jenis alat permainan.
Di keluarga-keluarga Italia, terdapat banyak barang mainan anak-anak. Bahkan, setiap tahun barang-barang mainan baru dibeli. Kalau dihitung, setiap 5-6 bulan, selalu ada yang baru. Anak-anak juga biasanya cepat bosan dengan yang lama. Mau yang baru. Menjadi parah saat yang lama dibuang padahal masih layak digunakan.