Banyak penyakit mematikan di bumi ini yang menjadi perhatian banyak orang. Tetapi, ada satu penyakit mematikan yang enggan dibicarakan terus-menerus. Entah media atau para penggiat mulai bosan, putus asa, atau juga tak kuat lagi membicarakannya. Jika demikian, akankah usaha kita untuk mengatasinya sudah tumpul?
Kemarin tanggal 31 Mei adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia atau dikenal dengan “World No Tobacco Day”. Tahun ini temanya adalah “Tembakau, ancaman untuk sebuah perkembangan”. Dari sini tampak bahwa tembakau saat ini menjadi sebuah ancaman. Tembakau dengan demikian menjadi sebuah tanda akan datangnya bahaya. Tembakau tak bedanya dengan alarm gempa yang kiranya bisa menjadi rambu agar siap lari menyelamatkan diri.
Ancaman ini kiranya tepat jika kita kembali pada munculnya Hari Tanpa Tembakau Sedunia ini. Dalam sejarahnya, hari ini dibuat untuk mengajak para perokok agar berpuasa paling tidak selama 24 jam tanpa merokok. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization-WHO) adalah pelopor gerakan ini. WHO bersama para kolaboratornya merencanakan hari khusus ini sejak 1987. Setahun kemudian (1988)—bertepatan dengan ulang tahun WHO ke-40—Hari Tanpa Tembakau mulai dirayakan. Sejak awal WHO mengusung tema melawan tembakau dan memfavoritkan kesehatan. Tema pertama (1988) adalah Tembakau atau Kesehatan: Pilihlah Kesehatan.
Merokok memang rupanya lebih mahal daripada kesehatan. Banyak penelitian menemukan data yang mengagetkan. Biaya untuk membeli rokok rupanya lebih besar ketimbang biaya untuk membeli makanan yang bergizi atau membeli obat yang menyehatkan. Biaya merokok ini kemudian menciptakan biaya kesehatan yang berlipat ganda lagi. Ini sebuah keprihatinan. WHO melihat keprihatinan ini sebagai sebuah hal penting yang mesti menjadi perhatian bersama. Maka, pada tahun ke-8 (1995), perayaan HTTS mengusung tema “Tembakau lebih mahal dari yang kamu pikirkan”.
Membeli sebatang rokok tampaknya murah tetapi sebatang rokok ini rupanya lebih mahal dari harga yang dibeli. Batang itu akan membuat jantung digerogoti penyakit tumor atau kanker. Bayangkan jika batang itu juga merusak jantung para perokok pasif lainnya yang ada di sekitar perokok aktif.
Ancaman bahaya rokok memang besar. Di Italia, diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahun karena penyakit yang terkait dengan bahaya rokok. Marianna Masiero, peneliti di Dipartimento di Oncologia ed Ematologia, Universitas Milan-Italia mengatakan bahaya rokok yang paling rentan adalah dalam bidang pernapasan dan jantung. Dia juga menegaskan bahwa, sebenarnya masalah yang dialami perokok aktif akan lebih kompleks dari sekadar 2 bidang ini. Dia menyebut misalnya masalah tumor jantung. Tumor ini—tegas Masiero—bisa juga terkait dengan jenis tumor lainnya yang sangat berbahaya. “Tetapi bahaya yang paling besar yang tak kalah kecil adalah merugikan perokok pasif yang ada di sekitar perokok aktif,” tuturnya kepada Giorgio Saracino, jurnalis di Radio Vatikan berbahasa Italia.
Bahaya yang terjangkit ini kiranya tidak boleh dianggap remeh. Di Italia, masalah ini menjadi perhatian seluruh warga. Sampai saat ini, kesadaran itu masih terpelihara. Di mana-mana memang ada rambu pengingat untuk tidak merokok di sembarang tempat. Juga, terutama dilarang merokok di sekitar ibu hamil dan anak-anak.
Untuk meningkatkan kesadaran ini, Pemerintah Italia juga terus memantau perkembangan bahaya rokok. Di Kota Milan, ada Tobacco Control Unit dari sebuah Institusi Kesehatan “Istituto nazionale dei tumori”. Para peneliti dari lembaga ini memasang alat pengukur kadar karbon di berbagai tempat. Baru-baru ini mereka meneliti secara khusus suasana di Stasiun Kereta Api Pusat di Kota Milan.
Roberto Boffi, dokter sekaligus ahli paru-paru yang menjadi Ketua Peneliti dari Tobacco Control Unit mengatakan bahwa usaha mereka berhasil mengindisikan “The Black Carbon” di beberapa tempat di sekitar stasiun. The Black Carbon adalah salah satu zat berbahaya yang bisa menyebabkan penyakit kanker pada manusia.
Penelitian yang dibuat Roberto bersama timnya mengundang keprihatinan baru. Rupanya banyak orang merokok di luar tempat khusus yang tersedia di stasiun. Mereka menemukan banyak perokok aktif di sekitar rel di ruang tunggu, di dekat pintu masuk stasiun, di tempat parkir, dan sebagainya. Kebiasaan ini menyebabkan penyebaran “The black carbon” meningkat. “Kami menemukan bahwa konsentrasi zat ini 8 kali lebih besar di luar tempat khusus ketimbang di tempat khusus untuk merokok,” tutur Robert kepada jurnalis online dari situs donnamoderna.com.
Selain merokok di tempat terbuka (di luar ruang khusus yang disediakan), ada juga masalah lain yang meningkatkan penyebaran rokok. Masalah itu adalah bentuk pelarian. Merokok menjadi alat penghilang stres. Itulah sebabnya merokok menjadi semacam lem perekat dari sudut pandang kehidupan sosial. Pendapat ini ditemukan dari hasil penelitian sebuah lembaga peneltian “Voices from the blogs” milik Universitas Milan. (donnamoderna.com)