Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita รจ bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bermain-main dengan Buku Bacaan Anak

2 Maret 2016   21:49 Diperbarui: 3 Maret 2016   10:08 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ragam buku cerita anak. Sumber: eatstayfarm.com"][/caption]Andai anak-anak sekarang masih suka dengan buku bacaan, masalah minat baca tidak banyak dipersoalkan. Anak-anak memang wajib mencintai buku bacaan terutama bacaan untuk anak-anak.

Namun, anak-anak sekarang bukanlah anak-anak yang mencintai buku. Anak-anak sekarang lebih tepat dilabeli anak-anak teknologi. Maksudnya, anak-anak yang lebih suka bermain dengan teknologi ketimbang bermain dengan buku.

Masalah ini bukan saja di satu tempat saja. Boleh dibilang, hampir di semua negara maju dan berkembang, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di depan teknologi modern. Sebut saja TV, play station, telepon gengam, tablet, dan sebagainya. Pulang sekolah langsung bermain game sampai malam. Lupa dengan belajar. Bahkan, pekerjaan rumah pun pindah menjadi pekerjaan sekolah. Atau bahkan menjadi pekerjaan yang tidak dikerjakan alias diabaikan.

Bermain game memang asyik. Tak beda juga dengan menonton film di depan TV di dalam kamar atau juga dari telepon gengam yang beralih fungsi sekaligus menjadi TV mini. Dengan akses internet berkecepatan tinggi, anak pun memindahkan layar monitor TV yang besar ke layar HP mini. Tablet juga menjadi salah satu yang membuat anak melupakan pekerjaan lain selain terkoneksi dengan dunia maya.

Jangan heran jika buku bukan lagi menjadi pilihan anak. Buku bagi anak sekarang menjadi benda asing. Apalagi jika bukunya tidak menarik. Nah, bagaimana bisa menarik jika anak saja tidak dekat dengan buku. Bagaimana anak bisa mengetahui isi buku jika dia tidak membuka halaman demi halaman. Jangankan membaca isinya, melihat-lihat kulit dan halaman per halaman saja tidak. Buku itu memang dekat dengan mereka, tetapi sekaligus juga jauh. Buku itu mereka bawa setiap hari ke sekolah. Tas sekolah dipenuhi dengan buku pelajaran. Tapi, buku itu tetap menjadi penghias belaka. Buku itu dibuka saat dibutuhkan dalam pelajaran di sekolah. Setelahnya tetap menjadi penghuni tas sekolah yang abadi.

Fenomena ini menghantui anak-anak di negara maju dan berkembang. Paling rugi memang di negara berkembang. Anak-anak belum punya kebiasaan membaca buku lalu datang โ€˜hantuโ€™ teknologi yang menjauhkan mereka dari buku. Jadilah budaya membaca itu tetap tidak menjadi pilihan mereka. Belum lagi ada dalih, ah kami juga membaca buku di internet, di tablet, di HP. Dalih seperti ini makin menjauhkan anak dari budaya membaca buku. Padahal, bagaimana pun dan apa pun alasannya membaca buku teks adalah tugas utama dan wajib dilakukan. Lalu, apakah tidak bagus membaca di internet? Toh bahannya semua ada di internet sehingga bisa diakses lewat tablet dan telepon gengam?

Ini juga termasuk dalih yang menyesatkan. Isinya tentu ada kesamaan tetapi lebih lengkap di buku teks. Kesahihan kualitasnya juga beda. Bahan di internet sifatnya tidak abadi seperti di buku teks. Bahan di internet itu ibarat warna tembok sedangkan bahan di buku teks ibarat tembok. Warna tembok bisa pudar sedangkan temboknya tetap kokoh dan bisa diberi cat lagi. Pengandaian ini hanya mau menjelaskan sifat sementara dari bahan di internet dan sifat abadi dari bahan di buku teks. Oleh sebab itu, anak-anak harus memiliki budaya membaca buku teks. Nah, bagaimana caranya?

Caranya mungkin seperti mencari jarum di jerami. Melihat kecenderungan anak yang enggan lepas dari gaet teknologi, mengajak anak untuk membudayakan kegiatan membaca seperti sebuah pencarian yang mustahil. Tetapi, di sinilah tugas orang tua. Tantangan ini bukan membuat orang tua mati langkah dan terjerumus dalam kehilangan harapan. Tantangan ini mesti menjadi penggerak untuk menemukan cara kreatif. Solusinya mesti ada dan anak-anak mesti memiliki budaya baca.

Cara kreatif seperti inilah yang sudah dibuktikan oleh para orang tua di Italia. Mereka menemukan cara agar anak mencintai kegiatan membaca. Menarik melihat cara mereka mencari solusinya. Mereka melihat akar masalahnya adalah kecenderungan anak untuk tidak lepas dari teknologi. Mereka pun bukannya memaksa anak keluar begitu saja dari teknologi. Merekaโ€”para orang tuaโ€”malah masuk dalam dunia teknologi. Mereka membuat grup di Facebook dengan nama Book Exchange for Kids. Grup ini menjadi wadah pertukaran informasi bagi orang tua. Di sini mereka bukan saja bertemu secara virtual tetapi juga kadang menjadi jembatan untuk pertemuan langsung. Maka, di sini juga mereka akan membagikan nomor telepon gengam dan alamat mereka. Komunikasi antara mereka pun tidak berhenti di grup virtual.

Di grup ini ada permainan. Rupanya ibu-ibu dan bapak-bapak juga harus bermain agar bisa masuk dalam dunia anak. Tetapi permainan ini tidak melibatkan anak-anak. Permainan ini hanya untuk orang tua tetapi sasarannya adalah anak-anak. Tujuan mereka bermain adalah agar anak-anak mencintai budaya membaca. Permainannya sederhana saja. Setiap orang mencari orang tua yang tertarik dengan grup Book Exchange for Kids. Jumlahnya mesti 6 orang. Pada awalnya hanya 2 orang. Tetapi, aturannya diubah biar sasarannya lebih luas dan grupnya makin besar. Lalu, mereka harus memublikasikan buku yang mereka terima di halaman grup Book Exchange for Kids ini. Jika ada publikasi yang diindikasi hanya oleh 2 orang saja, pihak admin akan menghapusnya tanpa pemberitahuan. Woaooo rasa-rasanya keras juga peraturannya.

Dengan peraturan ini, para anggota grup bisa mencapai harapan mereka. Lihat saja aturannya. Tidak ada publikasi tentang buku yang mereka bagikan atau kirimkan ke orang lain tetapi hanya ada publikasi tentang buku yang mereka terima. Berarti di sini motif di baliknya adalah berbagi buku bacaan atau tepatnya menukar buku bacaan.ย Setiap orang yang memberi akan menerima. Itulah sebabnya mereka memilih 6 orang daripada 2 orang saja. Lingkupnya menjadi lebih besar. Meski grupnya besar (6 orang), ada juga orang yang hanya memberi tetapi tidak mendapat kiriman. Di publikasi ada keluhan, "Kami sudah memberi tetapi anak kami belum mendapatkan satu buku pun. Lalu, ada yang membalas, sabar, kamu akan mendapatkannya nanti. Kami juga mengalami hal serupa sebelum akhirnya anak kami mendapat buku." Ini betul-betul permainan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun