Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita รจ bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Kehidupan dari Pohon tak Berdaun

7 Februari 2016   04:26 Diperbarui: 7 Februari 2016   11:15 2117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Belajar kehidupan dari pohon tak berdaun"][/caption]Jika ditanya, apa ciri khas musim dingin di Eropa? Salah satu jawaban adalah pohon-pohon yang tak berdaun. Masih banyak jawaban lainnya tapi jawaban yang ini yang paling pasti. Sudah jadi bayangan setiap orang, jika musim dingin identik dengan pohon tak berdaun.

Sabtu pagi kemarin, saya menyaksikan pohon-pohon tak berdaun itu. Mulai dari melirik dari jauh sampai saya mendekatinya. Tidak lama. Hanya 45 menit. Boleh dibilang 45 menit yang berharga. Saya keluar dari rumah membawa serta jaket, topi untuk musim dingin, dan syal di leher. Tidak berkaus tangan. Tentu kaki bersepatu. Kaus tangan ditinggalkan sebab saya mau memotret pohon-pohon tak berdaun itu. Apalagi matahari menyinarkan sedikit cahayanya. Meski matahari amat pelit, cahaya yang ada membuat hati ini bergembira.

[caption caption="pohon tak berdaun"]

[/caption]

Sebenarnya bukan kali pertama, saya bertemu pohon-pohon ini. Sering kali saya lewat di sini. Dengan sepeda atau berjalan kaki. Rasa-rasanya memang saya sering berkontak dengan pepohonan ini. Tapi pertemuan hari ini cukup unik.

Saya memandang dari jauh, dari seberang jalan. Lalu, saya mendekat. Saya tidak mau berkata-kata, tidak juga berdecak kagum, tidak juga menghakimi, tidak juga merasa iri. Saya membiarkan pohon-pohon itu menampakkan keasliannya pada saya. Saya juga tidak mengeluarkan kamera saku yang sudah saya siapkan di saku jaket. Antara saya dan pohon-pohon itu memang hanya ada ruang. Saya tidak mau menyebut ruang itu sebagai keindahan. Saya hanya mau menikmati ruang antara saya dan pohon-pohon itu berlama-lama. Jadilah saya dan pohon-pohon tak berdaun itu saling tatap.

[caption caption="bersepeda di antara pohon tak berdaun"]

[/caption]

Dalam dialektika orang Eropa, saya sedang menatap pohon tak berdaun itu. Maka, saya yang aktif sedangkan pohon itu pasif. Sepintas memang pohon itu seperti mati. Tak bergerak, tak bersuara. Biasanya pohon bersuara kala daunnya bergerak disapu angin. Pohon juga bergerak kala dahannya bergoyang diterpa angin. Orang Eropa dengan rasionalismenya boleh mengatakan demikian. Orang Timur (Asia) sebaliknya menilai pohon-pohon itu sedang menampakkan diri pada saya. Jadi, bukan saya yang sedang memandang (yang aktif) tetapi pohon-pohon itulah yang menampakkan diri (yang aktif). Penilaian ini bisa tercapai hanya dalam pengalaman. Maka, orang Timur memang sarat dengan hal-hal yang berbau empiris.

Saya tidak mau berkutat dalam cara pandang yang berbeda ini. Saya hanya mau menatap pohon-pohon ini. Dalam tatapan ini, saya juga sebenarnya melihat penampakan pohon-pohon itu. Jadi, bukan saya saja yang sedang memandang tetapi pohon-pohon itu juga yangg sedang menampakkan diri. Dari pertemuan inilah saya dapatkan keindahan dan arti hidup yang tiada tara.

[caption caption="pohon menampakkan keindahannya"]

[/caption]

Betul-betul mengagumkan pemandangan pohon-pohon itu. Saya tak menemukan pemandangan ini di Indonesia. Biasanya pohon tak berdaun di Indonesia diibaratkan dengan kematian. Pohon tak berdaun berarti pohon mati. Di sini rupanya lain. Pohon tak berdaun itu rupanya hidup. Dan bukan saja sekadar hidup, tetapi juga masih bertenaga, masih mampu membuat kreasi baru, menciptakan keindahan. Memang, pohon tak berdaun itu menampakkan keindahannya.

Pohon itu ibarat manusia yang berkepala botak. Boleh jadi ada yang menilai aneh. Kepala kok tak ber-rambut. Demikian dengan pohon tak berdaun. Pohon kok tak berdaun. Tetapi, kalau kita membuang penilaian sepihak seperti ini, kita menemukan keindahan dan relasi yang tiada tara. Orang Eropa atau Italia pada umumnya tidak memandang aneh terhadap orang berkepala botak. Bagi mereka, berkepala botak atau tidak, orang itu tetaplah sama dengan yang lain. Ada kesamaan umum yakni makhluk hidup yang diciptakan. Maka, kebotakan bukanlah keanehan. Kepala botak dalam hal ini ya sama dengan kepala ber-rambut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun