Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pulitzer, Pemuda Yahudi yang Sukses di Negeri Asing

9 April 2017   05:53 Diperbarui: 9 April 2017   19:00 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang bilang, seorang nabi tidak dihormati di tempat asalnya. Padahal, di tempat lain, seorang nabi bisa dihormati oleh warga sekitarnya.

Anekdot ini boleh jadi ada benarnya. Cukup melihat kesuksesan para perantau. Bagi perantau, anekdot itu sungguh nyata. Di Indonesia, anekdot itu amat nyata di Jakarta. Banyak pekerja sukses di Jakarta datang dari berbagai daerah di Indonesia. Di Jakarta, pekerja keras itu pun bukan saja menjadi orang sukses tetapi amat dihormati oleh para sahabatnya. Padahal, di tempat asalnya, belum tentu demikian.

Joseph Pulitzer (1874-1911) adalah contoh nyata dari anekdot ini. Dia datang ke Amerika Serikat pada 1864. Di sana, dia menjadi orang sukses. Kesuksesannya bukan tanpa dasar. Dia berasal dari keturunan Yahudi di Hongaria. Sebagai orang asing di Amerika, dia pun melewati masa sulit dalam hidupnya. Masa sulit ini memberinya pelajaran bahwa kesuksesan itu mesti diawali dengan kerja keras.

Joseph Pulitzer sukses di tanah asing, FOTO: anthosmedia.com
Joseph Pulitzer sukses di tanah asing, FOTO: anthosmedia.com
Tiba di Amerika, dia masuk dalam dunia perang. Dunia yang tidak ia bayangkan sebelumnya. Saat itu, Amerika sedang dilanda Perang Sipil (1861-1865). Dia terjun menjadi prajurit perang. Tidak seperti prajurit lain yang menjadi pahlawan, Pulitzer tidak langsung menerima anugerah itu. Dia masih hidup setelah perang sipil yang menegangkan itu.

Angan-angan menjadi pahlawan ini jauh dari bayangannya. Baginya, hidup setelah perang juga menjadi sebuah perjuangan. Perjuangan ini nyata dalam berbagai pekerjaan yang ia jalankan. Dia mulai dengan menjadi redaktur untuk harian berbahasa Jerman di kota Saint Louis, Missouri. Dunia surat kabar ditinggalnya sebentar saat ia menjadi anggota parlemen dan pegawai keuangan di sebuah perusahaan. Dua pekerjaan ini dijalankannya dalam waktu singkat. Dia rupanya tidak ingin menghabiskan waktunya di dua bidang ini.

Dia pun kembali ke dunia surat kabar. Kali ini, dia membeli surat kabar terkenal di kota New York. Surat kabar yang konon hampir kolaps itu dibuatnya hidup kembali. Sehingga, tepat pada 1883, dia membeli koran New York World.Koran inilah yang membuat namanya terkenal. Baginya, koran ini adalah sarana komunikasi bagi para imigran asal Eropa yang datang ke Amerika pada akhir 1800-an.

Dewan juri pada Hadiah Pulitzer 2016 yang lalu, FOTO: pulitzer.org
Dewan juri pada Hadiah Pulitzer 2016 yang lalu, FOTO: pulitzer.org
Dengan korannya ini, Pulitzer ingin menjawab kebutuhan para imigran. Maka, dia pun menyertakan informasi seputar rumah yang dijual atau dikontrakkan, tempat jual alat-alat rumah tangga, dan sebagainya. Bagi Pulitzer, kebutuhan seperti ini mesti diketahui oleh para pendatang. Dalam hal ini, Pulitzer tahu betul apa yang sedang dibutuhkan oleh pendatang baru.

Pulitzer betul-betul mencurahkan hidupnya dalam koran ini. Pengalamannya bekerja di surat kabar membuatnya makin jago mengelola koran ini. Jangan heran jika sampai pada tahun akhir kejayaannya (1911), oplah koran ini melejit sampai angka 313.000.

Usia New York World memang seperti usia manusia zaman ini. Hidupnya hanya 71 tahun (1860-1931). Dalam rentang itu, koran ini mampu menjadi bagian dari tonggak sejarah Amerika. Pada awal berdirinya, koran ini adalah corong media dari Partai Demokrat. Pada periode 1862-1876, koran ini diambil oleh oleh sang editor sekaligus pemiliknya Marble Manton. Tongkat kepemilikan sampai pada tangan Pulitzer setelah melewati dua tokoh penting lainnya yakni Thomas A. Scott (1876–1879) dan Jay Gould (1879-1883).

Medali Pulitzer Prize, FOTO: pulitzer.org
Medali Pulitzer Prize, FOTO: pulitzer.org
Selama 28 tahun, koran ini diasuh oleh Pulitzer. Usia ini kiranya pas baginya untuk meninggalkan kesan yang membahagiakan. Memang Pulitzer dan koran ini ibarat orang tua dan anaknya. Pulitzer seperti orang tua yang menyiapkan masa depan bagi koran New York World. Masa depan yang disiapkan Pulitzer ini amat penting bagi kelangsungan koran ini. Masa depan ini mampu memperpanjang hidup koran ini selama 20 tahun setelah kematian Pulitzer. Setelah kematian Pulitzer pada 2011, koran ini diteruskan pengelolaannya oleh Pulitzer Family (1911-1931). Ini bukti bahwa, Pulitzer mampu menyiapkan masa depan yang baik.

Keluarga Pulitzer juga ingin berkiprah seperti Josep Pulitzer. Usaha mereka tidak saja meneruskan kelangsungan hidup koran ini, tetapi juga meninggalkan sesuatu yang sampai saat ini masih bertahan. Saat koran ini ditutup (1931), keluarga Pulitzer meninggalkan harta sekitar 1 juta dolar AS. Uang ini digunakan untuk membangun sekolah dan hadiah dalam bidang jurnalisme. Ini kiranya mimpi Josep Pulitzer, sang pegiat surat kabar.

Sejak tahun 1917, uang ini juga digunakan untuk hadiah Pulitzer (Pulitzer Prize). Tahun ini—tepatnya 10 April nanti—hadiah Pulitzer berusia genap 100 tahun. Pulitzer Prizeadalah hadiah paling prestisius dalam bidang jurnalisme di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya, hadiah ini diberikan juga pada bidang lainnya seperti musik dan sastra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun