Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sejarah Panjang "La Pasta" Menjadi Pemersatu Bangsa Italia

10 Desember 2016   18:28 Diperbarui: 11 Desember 2016   01:59 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kuliner italia, FOTO: gingeretomato.com

Soekarno bapak proklamator Indonesia jauh-jauh hari memberi lampu hijau untuk Indonesia. Katanya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya.

Soekarno benar. Ia tahu rahasia menjadi bangsa yang besar. Italia menjadi bangsa yang besar karena mengenal sejarah mereka. Bagi orang Italia, sejarah bukan saja untuk dikagumi tetapi dipahami, dicerna, dianalisis, diteliti, bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa Italia dan dunia.

Orang Italia pun tidak main-main dengan pencarian akan sejarah bangsa mereka. Salah satu bentuk pencarian itu adalah sejarah makanan Italia yang terkenal yakni La Pasta. Jenis makanan ini rupanya mampu menyatukan bangsa Italia.

Jika Indonesia khususnya DKI Jakarta, Jawa Barat, dan DIY terpisah karena perbedaan agama, Italia justru bersatu karena makanan. Di sini memang Indonesia dan Italia berbeda.

Bagi ketiga daerah provinsi di Indonesia ini, agama (dan bukan manusia) menjadi pusat kehidupan. Setidaknya jika dianalisis dari situasi kehidupan sosial-agama akhir-akhir ini. Cara pandang seperti ini melahirkan konsep agama yang super-power, autoreferensial, dan mengabaikan manusia. Hasil akhirnya bukan saja memutlakkan kebenaran sebuah agama tetapi juga menempatkan Tuhan atau Yang Mahatinggi sejajar dengan manusia.

Cara pandang seperti ini berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa yang majemuk dari segi sosial-agama. Dan, saya yakin cara pandang ini keliru. Manusia tidak akan mencapai kebesaran dari Allah. Allah tetap akan lebih besar dan manusia tidak mampu memahaminya secara total. Jika Allah saja besar, untuk apa manusia membelanya?  

Tentunya kelompok yang mempunyai cara pandang ini tidak mengonsumsi La Pasta ala Italia sebagai makanan pokoknya. Dan, daripada sibuk mengurus mereka yang membingungkan kehidupan banyak rakyat Indonesia, lebih baik kita bicarakan La Pasta.

La Pasta FOTO: macropolonews.it
La Pasta FOTO: macropolonews.it
La Pasta meraih predikat sebagai pemersatu bangsa Italia setelah melewati perjalanan panjang. Bahkan, saking panjangnya, La Pastapun mesti mulai dengan menyentuh orang Italia di luar negeri. Di sinilah La Pasta mempunyai peranan penting. La Pasta seolah-olah menjadi pahlawan asing yang menyatukan penduduk Italia dalam negeri.

La Pastamenjadi simbol makanan Italia di dalam dan luar negeri sejak abad yang lalu (1900-an). Simbol makanan ini rupanya bukan menjadi sesuatu yang terkenal untuk seluruh wilayah Italia. La Pastamenjadi makanan pokok hanya di beberapa wilayah saja seperti la Campania(Napoli), la Liguria (Genova) dan Sicilia. Di wilayah lainnya La Pasta tidak menjadi makanan pokok.

Ada banyak alasan mengapa La Pasta tidak menjadi makanan pokok. Daftarnya panjang jika dibuat tabelnya. Tetapi, alasan yang paling utama adalah cara pembuatannya. Rupanya butuh waktu dan tenaga untuk menghasilkan La Pasta yang enak. Karena panjangnya proses pembuatan ini, La Pasta pun hanya dikonsumsi dalam momen khusus saja seperti pesta pembaptisan anak, pesta pernikahan, pesta pergantian tahun dan pesta khusus lainnya.

La Pasta yang dikonsumsi saat itu memang dibuat dari bahan yang sulit diolah. Bayangkan bahan pokoknya adalah tepung gandum (farina di grano) yang harganya mahal dan berkualitas tinggi. Pengolahannya pun membutuhkan tenaga, waktu, dan kesabaran. Misalnya menambah beberapa resep tambahan ke dalam tepung gandum lalu membuatnya menjadi sebuah adonan yang kental, kemudian memilahnya dari air dengan kadar dan jumlah tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun