Mataku melotot memandang bunga-bunga itu. Bukan sekali saja lewat di sini. Pandangan pertama memang selalu menyentuh hati. Tapi, berkali-kali lewat pun tak membuat hatiku luntur akan sentuhannya. Ya, sentuhan keindahan bunga-bunga itu.
Â
Bunga-bunga itu bak gadis cantik nan menawan. Gadis seperti ini jadi objek penglihatan lelaki. Boleh jadi bukan saja sebatas melihat tetapi ingin memilikinya. Dan lelaki begitu terpananya akan gadis cantik, dia akan berusaha memperolehnya. Lelaki pada umumnya ingin menunjukkan kejantanannnya. Dan, lelaki belum dikatakan pejantan jika belum memiliki gadis molek itu. Dengan segala cara pun dia menunjukkan pada kawannya bahwa dia adalah sang pejantan tangguh. Dia akan membuktikannya dengan memiliki gadis cantik itu.
Bunga itu memang bukan gadis cantik tetapi bunga itu betul-betul menggoda hatiku untuk memilikinya. Lama kutatap warnanya. Berwarna-warni. Perpaduan warna yang begitu indah. Hijau, merah muda, Â merah tua. Betul, perpaduan yang indah. Merah selalu menarik dilihat dari mana pun terutama dari kejauhan. Permainan warna merah inilah yang membuat mataku terpana melihat jejeran bunga ini. Dari kejauhan sudah tampak indahnya. Makin dekat, makin indah. Makin indah, makin lama menatap. Makin lama menatap, jadi jatuh cinta untuk memilikinya.
Bukan saja warna merah. Ada juga warna hijau. Hijau selalu identik dengan kesuburan. Bunga ini memang tentu tumbuh subur. Entah siapa yang memberinya makanan bergizi. Yang jelas, bukan manusia. Pemilik bunga ini hanya menaruhnya dipot. Sesekali dirawatnya dengan memotong ranting dan daun yang tua. Tapi, tak pernah pemiliknya memberi pupuk. Hanya mencari tanah yang subur untuk menambah koleksi tanah dalam pot. Tanah itulah yang memberinya makanan sampai bunga itu tumbuh dan menampakkan keindahannya. Tanah tentu dianugerahi kesuburan oleh Sang Pencipta. Maka, bunga itu mengajakku sejenak untuk tidak berhenti menatapnya lama-lama tetapi menatap lebih jauh, menembus keindahannya, pada Sang Pencipta.
Hatiku masih terus merayu bahkan menggoda untuk memilikinya. Bunga ini memang sungguh bak gadis idamanku. Mengingat gadis idaman tak bosan-bosannya. Selalu saja ada yang kuidamkan. Melihat yang satu, mau. Sayang hanya sebatas mau sebab tak lama kemudian dia lewat lalu pergi. Tapi, tidak ada yang perlu disesali. Sebab, tidak ada waktu untuk mengingat dan menyesalinya. Selang berapa menit kemudian, datang lagi gadis idaman yang lebih cantik darinya. Maka, mengidamkan untuk memilikinya adalah sebuah pekerjaan yang tak hentinya.
Mengingat gadis idamanku itu seperti menginginkan bunga indah yang ada di depan mataku. Mau memilikinya tapi tidak bisa memilikinya. Sebab, bunga itu tumbuh di pot di pinggir jalan. Banyak orang lewat di sini. Banyak yang mengaguminya. Banyak pula yang seperti saya ingin memilikinya. Sayang, tak bisa diambil. Sebab, kalau saya mengambilnya, bunga itu tidak bisa dinikmati lagi oleh pengunjung lainnya. Ah sayang bunga ini hanya untuk dinikmati tetapi tidak untuk dimiliki.
Alam memang menyediakan semuanya untuk kita nikmati. Tetapi tidak boleh menikmatinya berlebihan. Keindahan itu sebaliknya menugaskan kita untuk menjaganya bak menjaga gadis cantik dari cengkeraman lelaki hidung belang. Anak cucu kita punya hak—dan mereka akan menuntut kita—untuk menikmatinya.
Â
Salam cinta alam.
Â
Molveno-Trento medio Agustus 2015
Gordi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H