[caption id="attachment_306174" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Kehidupan ditengah kota-kota besar seperti, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) layaknya hidup di dalam air tanpa udara. Begitu sesaknya jalan akibat padatnya kendaraan bermotor banyak membuang waktu perjalanan dan bahkan kehilangan kesempatan emas dibuang sia-sia. Sebut saja "Macet", didaerah kota besar kemacetan tidak bisa ditebak kapan, dimana dan apa penyebabnya. Bahkan, sekalipun hari libur rupanya kemacetan terus diselimuti kekesalan. Hampir semua kendaraan beroda terkadang menyalahkan ego yang besar. Seperti halnya pengendara beroda dua, terkadang selalu menyalahkan kendaraan beroda empat. Entah supir angkot yang ngetem, mobil pribadi yang isinya cuma supir, sampai truk dan angkutan bus yang sembarang berhenti. Lain halnya pengemudi beroda empat atau lebih, terkadang satu yang membuat kesal adalah pengemudi beroda dua yang terkadang menyalip diluar batas jalan berlawanan arah yang menimbulkan penyempitan jalan berlalu lintas. Bicara kemacetan sebenarnya tidak ada habisnya, sebab belum ada langkah konkrit "Penguasa yang belum bisa menjadi seorang Pemimpin". Pemerintahan yang kaku, terkesan ke hati-hatian lebih sering menguntungkan jabatan dan para produsen otomotif Jepang. Pertumbuhan kendaraan bermotor di kota-kota besar setiap tahun bisa mencapai 2 kali lipat lebih banyak. Pelebaran jalan seolah tak terasa lebih baik atau sedikit lancar. Pasalnya produsen otomotif setiap Tahun gencar melakukan produk-produk baru dan murah. Persaingan harga produsen otomotif tanpa ada batasan pemerintah membuat lancar usaha dan macet dijalan. Penawaran kredit produk yang lebih murah dan terjangkau membuat orang-orang tergiur untuk membelinya. Sayangnya Unta tak ada di Indonesia, melainkan pabrikan merek Toyota yang berhasil beranak pinak di negeri sempit perjalanan. Disamping itu, merek pabrikan lainnya seperti, Honda, Suzuki, Mitsubishi, Isuzu, Yamaha, Mazda, Kawasaki dan lain sebagainya mampu mendominasi pasar otomotif di tanah air. Produsen otomotif asal Jepang mampu memperkaya di negeri bekas jajahannya. Jantung perekonomian No. 1 di Jepang sangat tergantung dari negara kita, sebab bila tak bisa menjajah ya apalagi selain memproduksi otomotif seluas-luasnya untuk menjajah ekonomi otomotif. Balas budi sepertinya terbalik, bedanya orang tua kita dulu merasakan pahitnya gencatan Jepang menjajah saat itu, mungkin sekarang faktanya gencatan kemacetan dan ekonomi telah dibuat oleh mereka. Sebab itulah kenapa di Jabodetabek yang mayoritas kendaraan bermotor pabrikan Jepang banyak ditemukan saat macet. Sebab tak lain produk murah, terjangkau, tanpa batas bisa siapa saja mampu membelinya. Walhasil wajar macet itu susah diatasi karena sampai saat ini pemerintah lebih pro produsen otomotif Jepang ketimbang membuat langkah kebijakan untuk menuntaskan kemacetan. Dan lebih parah lagi sektor otomotif yang terus tumbuh membuat Indonesia memaksa untuk impor Migas. Lantas kata orang tua kita berkata. "Nak, sama saja hidup sekarang dengan dahulu di Jajah Jepang, sama-sama di gencat. Nyebrang aja susah toh!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H