Mohon tunggu...
Gopas Siagian
Gopas Siagian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

“Without deviation from the norm, progress is not possible.” \r\n― Frank Zappa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Riwayat Eksentrik Sebuah Karya Adiluhung

23 September 2013   17:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:30 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_290311" align="aligncenter" width="400" caption="semenjana.blog.com"][/caption]

Sebuah poster di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta menarik perhatian. Tapi ada kesan bahwa poster tersebut seolah-olah hanya ‘pemanis’ museum dikarenakan tata letaknya yang memang dibuat sedemikian rupa agar tidak sampai menutupi pesona sajian utama museum tersebut yakni diorama-diorama kisah perjuangan dan kepahlawanan. Begitupun, poster ini tetap menarik untuk dipandangi dan diperhatikan detil-detilnya sembari berucap dalam hati “kok sepertinya familiar”.

“Ajo Boeng!” Itulah seruan poster yang terkenal sejak masa awal Revolusi Pemuda itu. Lantas mengapa diberi tulisan “Ajo Boeng!” di poster itu?

Mari kembali beberapa dekade ke belakang.

Kalau benar apa yang dituturkan Basuki Resobowo perihal asal-usul dua patah kata seruan itu sehingga menjadi salah satu opsi caption poster tersebut, maka secara kebetulan di riwayat poster ini pun terkandung wawasan dan sepak terjang Soekarno yang populis itu.

Alkisah, “Ayo Bung!” adalah seruan perempuan lampu merah di Pasar Senen yang kerap mereka teriakkan sambil berdiri di depan pintu untuk mengundang calon tamu di antara laki-laki yang lalu lalang di depan rumah bordil mereka.

“Djon!” Kata Bung Karno suatu hari pada S. Soedjojono. “Buatlah satu poster yang sederhana tapi kuat, untuk membangkitkan semangat pemuda.”

Soedjojono lalu membawa gagasan Bung Karno itu lantas memesankannya pada Affandi, yang segera pula menerjemahkannya di atas kanvas.

Beberapa hari kemudian jadilah poster monumental itu. Lukisan sekepal tinju mengacung ke atas. Anda pasti sering melihat atau setidaknya pernah memandang sekilas gambar kepalan tinju yang sangat ikonik ini entah di Majalah Historia atau di mural-mural di kota anda.

Soedjojono dan Affandi puas memandangi hasil karya mereka. Tapi masih satu hal yang kurang. Kata-kata apa yang sebaiknya dibubuhkan di poster itu, yang sederhana namun sarat dengan pesan yang bermakna.

Ketika mereka berdua berpikir keras untuk mencari kata-kata yang pas untuk dijadikan caption poster, dua pria datang ke studio. Mereka adalah Chairil Anwar dan Basuki Resobowo. Mereka baru pulang keluyuran dari Pasar Senen “ber-ayo-bung” ria.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun