Pandangan yang menempatkan status jurnalis sebagai seorang “pekerja” dalam manajemen, telah mengurangi makna kultural profesi ini menjadi sederajat dengan kerja kasar/serabutan. Dan nampaknya ini pula yang kemudian menyebabkan jurnalis dalam kerjanya merasa sudah cukup dengan memahami dan menjalankan jurnalisme hanya sampai pada level teknis, dan tidak berkehendak untuk menempatkannya pada tataran epistemologis.
Sudah selayaknya jurnalis bekerja dengan memberi titik berat pada objektivitas, keadilan, kejujuran, dan berorientasi pada kebenaran akan apa yang diberitakannya. Para awak pers yang berada di lapangan maupun di balik meja redaksi agaknya perlu merenungkan kembali esensi dan kehakikian idealisme jurnalis yang mereka banggakan itu. Berpolitik praktis memang menjadi hak setiap orang dan bukan sebuah larangan. Kendati demikian, pemberitaan pers tidak boleh mengabaikan objektivitas pemberitaan informasi yang mengutamakan kepentingan umum. Pers tidak boleh sampai menjadi boneka wayang kepentingan golongan tertentu dengan elit politik sebagai dalangnya. Seperti yang dikatakan Ashadi Siregar, jurnalis selain sebagai seorang pekerja dalam tatanan struktural di manajemen media massanya, adalah juga seorang pekerja kultural yang punya otonomi dan independensi dalam melakukan pekerjaannya.
P. S. Tulisan ini juga saya publikasi di semenjana.blog.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H