Dalam tengah hari, awan memeluk perbukitan
Aku lihat kumpulan lumba-lumba,
Ekornya yang tergerai ia kibaskan
Aku lihat bapak-bapak nelayan,
Tengah hari yang permai.
Di selat sagewin, mercusuar menyala,
Memancarkan bahasa alam dan isyarat-isyarat
Empat rajawali keluar dari bukit, menghalau kabut kegamangan
Cakar rajawali tajam menyambar mataku,
Astaga !,
Mata kepalaku yang angkuh,
Mata gelap yang memandang senjakala langit
Mataku yang kering dalam duka, mataku tak bermakna !
Bagaimana ini !
Bukit mengandung biji-biji merah tembaga,
Buah zaman yang diperam untuk bungsunya.
Akar rotan berselempangan,
Mengikat tangan dan tulisku yang gagap, tanganku mengapai sepi
Tanganku mengepal gemetaran,
Tangan yang kubasuh namun tak berarti,
Tangan yang gamang dan tak menghasilkan
Karna dikelas tak diajarkan pelajaran untuk mengurai,
Karna pemakai lebih masuk akal pengajarannya,
tanpa tahu mencipta.
Maka terciptalah generasi gagap
Lalu menatap masa depan dengan bimbang
Aku maki diri sendiri, kita dipakai untuk apa ?
Aku lihat pantai, pasir panjang bertepi sunyi
Kanak-kanak larut dalam riak gelombang
Tawanya melepaskan resah dalam dunia gelap,
Gembiranya tak bisa kita samakan dengan batin kita,
Karna mata mereka pasti menatap tajam
Mengarahkan pandangannya pada jidat-jidat kita,
Dengan segala macam pertanyaan yang akan kita pertanggungkan !
Oh..camar-camar yang bermain dan menjerit,
Lengkinganmu di hempas angin barat
Kau tanam bakau-bakau kenyataan dalam imajinasiku,
Lalu kurangkai sajak ini,
Sajakku yang gamang pada selatmu
Sajakku yang bimbang pada lumba-lumbamu,
Sajakku yang gagap menatap masa depan kanak-kanakmu
Sajakku yang gelap pada hidup empat rajawalimu
Lalu pertanyaanku, kepada mercusuar
Kemanakah arah pedoman haluan kapal negeriku ?
Selat Sagewin, 30 Sept 2017
Rasull abidin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H