Mereka bicara tentang hari ini,
Di gubuk, pinggiran parit kecil.
Mereka bersandaran tangan dikepala
Kemarau,
Desah angin hangat memainkan ilalang,
Musafir datang...
Hanya sebentar lalu, berlalu memandang awan,
Biru telaga tak akan kering
Kepiting, belut, capung sembunyi.
Menunggu senyap
Dari gemeruh badai tiada tanda,
Tiada akhir....
Seharian bocah-bocah telanjang dada,
Menunggu selendang bidadari tak juga ada.
Remuk redam
Lolongan katak kerdil penentang sunyi,
Kini jadi hirup pikuk
Kerbau melenguh,
Anak-anak itik kocar kacir membentur batang kering
Orang-orangan sawah
Merindu pipit-pipit mencicit
Ketika suara saling bersambut
Hilang musnahlah kemana...?
Tinggalah kerontang,
Menjelajari retak tanah kian berjengkal
Biru telaga tak berfikir,
Gerangan apa yang terjadi..?
Bias-Bias pancaroba,
Samar-samar dalam remang,
Suara tak bertuan mulai ramai kepermukaan.
Kerbau masih melenguh,
Bocah-bocah ditengah ilalang
Dengan kincir-kincir kertas menembus batas
Biru telaga tak pernah kering
Burung bebas lepas dari lapas...
Petani-buruh, tinggalkan kerontang
Terbius indah perkotaan,
Tergelincir menjelma gelandangan,
Terhimpit, jadilah kuli-kuli serampangan
Terpedaya di gang-gang pelacuran,
Lalu menjelma bak bunga-bunga plastik
Dan keberanian musnah di gerogoti virus materialistis
Mereka berbincang, menyeruput kopi
Diskusi tak berhenti,
Manggut-manggut, burung kuntul berkeluh kesah
Biru telaga tak akan kering,
Airnya mengalir menjelajari tanah kering
Tapi hanya sebatas simbol
Di atas papan tulis dan gedung-gedung megah masa kini.
Surabaya, 12 Sept 2017
Rasull abidin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H