Nah loh. Panik-isme, sebuah pertanyaan mampir di kepala hamba. Sederhana banget pertanyaan si kecil "Babe, bendera ko'k bisa gerak-gerak ya ditiup angin?" Ketika itu si kecil usia sekolah dasar awal.
Hamba mencoba mencari jawaban sesederhana mungkin, sebatas pendidikan hamba sangat terbatas pula "Keren ya Son, benderanya gerak-gerak karena ditiup angin," dari wajahnya kelihatan si kecil tak berminat pada jawaban hamba. Tetap menatap dengan santai, bendera berkibar di bambu, terikat di tiang rumah. Mungkin, jawaban hamba tak masuk akalnya.
Hal ihwal pertanyaan itu, kalau di jawab serius, bakal makin serius pertanyaan si kecil, meski sepintas terlihat sederhana, santai seperti itu. Telah kesekian kalipula mampir di kepala hamba kesederhanaan pertanyaan serupa itu, di antara banyak pertanyaan lainnya. Pernah hamba jawab sembari santai, begini "Bendera itu berkibar karena digerakkan angin, Son."
Dia tanya lagi "Siapa sih Beh, yang ngegerakkin angin," wah, mati kejang hamba, bakal gawat, panjang lebar pertanyaan si kecil kalau hamba jawab secara pikiran dewasa. Bakalan sambung menyambung, pertanyaannya. Mending ane ajak beli bubblegum aja deh. Berangkatlah kami menuju warung sebelah.
Kemurnian pertanyaan sains imajinatif si kecil, bakal bikin hamba knockout, oleh jawaban hamba sendiri, finalti ke gawang hamba, gawat. Karena si kecil bakal bertanya lagi dengan kalimat pembuka, seperti biasanya "Kenapa kok ... seterusnya ... seterusnya ..."
Sekalipun dialogis, terjadi santai, tetap hamba bakal keteteran menghadapi kepolosan, kejujuran pertanyaan si kecil, padat oleh kecerdasan imaji-sains di pikirannya.
Sampai pada pertanyaan, si kecil, hamba coba simpulkan 'siapa menggerakkan bendera di tiang tertinggi,' kalau jawabannya 'angin,' maka pertanyaan berikutnya dari si kecil, 'siapa menggerakkan angin,' kalau jawabannya 'alam,' maka pertanyaan berikutnya dari si kecil, 'siapa menggerakkan alam ...' Tentu manusia dewasa, telah mumpuni keilmuannya, mungkin, punya jawaban beragam pesona sesuai iman keilmuannya.
Pendaki gunung andal telah mencapai wawasan keragaman panorama estetis, dari ketinggian puncak pendakian, senantiasa bijaksana pada alam lingkungan juga sesama.
Pencerapan nurani pada rasa syukur telah diciptakan, sekaligus seisi Alam Raya, bagi kelangsungan kehidupan para makhluk, dengan satu kata sederhana, 'Kun,' maka hadirlah kehidupan semesta.
Tak mampu hamba, pribadi, membayangkan dengan keimanan seluas apapun. Seumpama, jika kata, 'Kun,' tak pernah ada, tak 'kan pernah ada pula, bimasakti, berikut segala isinya. Tak 'kan ada pula taklimat, ditiupkan ruh kedalam kehidupan, menjadi makhluk ciptaan-Nya.