Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sampar Anonim

13 September 2024   10:29 Diperbarui: 13 September 2024   10:41 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Kompas.com

"Kalau pengkhianat itu, menyusup lewat jalur frekuensi monyet. Jenis monyet macam apa pula mereka", di benak Marjun.

"Sialan!" Marjun dalam benaknya, kesal.

"Sabar Den." Bleki menggonggong dua kali.

"Kau paham rupanya maksudku, Sobat." Marjun, mengelus dua kali kepala si Bleki.

Malam bertambah waktu menuju fitrahnya. Gelap, gemintang terlelap, tetap berkedipan berkerlipan menghias waktu malam. Bulan separuh kelapa memberi cahaya sesuka keikhlasannya. Tak ada kata, tak ada duka lara, Marjun, terus melacak keberadaan pengkhianat itu bersama Bleki, terus menggonggong kian kemari melolong-lolong.

Mendadak Marjun, bersama Bleki, merasakan tanah disekitar bergetar, bergemuruh, lantas meletuskan suara-suara seperti bergumam. Bleki, mendadak membesar, tubuhnya semakin meninggi, menggeram menyalak menggelegar.

Marjun, luar biasa kaget. Belum pernah menyaksikan, Bleki menjadi seperti itu, matanya menyala-nyala. Marjun, pun membesar, meninggi melebihi Bleki. Keduanya tampak bersiap menghadapi musuh, kira-kira begitu.

Tanah semakin bergetar, tambah bergemuruh, letusan menjadi ledakan, horor menyebar magnit pemangsa. Bau darah menyebar, sosok-sosok berlompatan, berkelebatan dari dalam tanah, terus meledak-ledak. Keempat kaki-kaki si Bleki kokoh mencengkeram tanah, tampaknya Bleki akan menyerang duluan, menggeram hebat. Marjun, merasakan tubuhnya kuat seperti raksasa, bersiap pula melakukan serangan.

Marjun, terbangun kaget akan melompat, sarungnya di tarik-tarik Bleki, sembari menggeram. "Ada apa sobat?" Bleki, terus menggeram menarik-narik sarung, Marjun, beringsut menghampiri mengelus kepala Bleki, bersandar di kaki Marjun, masih terasa kantuk menggelayut. Bleki, segera berdiri menatap, Marjun.

"Kau lapar sobat?" Bleki, merundukkan kepalanya "Oh, kau juga mengalami mimpi itu tadi?" Bleki, mendongakan wajah memberi tanda dengan anggukan kepalanya.

Marjun, melihat jam dinding, bersegera, bergegas menyiapkan perlengkapan pendakian. Keduanya menuju gunung berlimbah racun industri modern. Sejak itu mereka tak pernah kembali.  

***

Jakarta Kompasiana, September 13, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun