Mata, batas biru kaki langit. Takjub, gaib alam menyala. Kurva horizon, imajiner antara realisme bumi dengan langit. Ragam musim berubah. Warna natural merangkai nirmana waktu. Dialogis. Simbolis. Merangkai zaman multi peradaban tertera.Rembulan biru tua. Fajar kizib sepenggalah ihwal fajar sidik kelahiran matahari tunggang gunung, menyemai ramah cuaca senja. Gilang gemilang gemintang ratna mutu manikam. Tak perlu debat mata air milik siapa. Gerhana, fitrah kesadaran makrifat semesta.
Sains, filosofis paralel, titian ratna kencana tanpa sinonim, anonim, aksioma selaras berubah mengalir magnetis. Hipnosis autentikasi serial flora fauna, lingkar humanis adab inteligansi ekosistem. Bening tetes embun di daun-daun niskala siklus.
Ihwal cipta ning jagat rat cinta memeluk sublim. Tak sekadar pop surealisme menyembul impresionisme mengembang realisme mencapai kubisme mengubah universalime seterbatas materialisme skala numerik. Tak 'kan terkejar oleh isme apapun susunan nalar tatasurya.
Denting piano. Suara-suara ucapan. Kata dalam kalimat sakral. Solilokui kalbu tak 'kan terdengar batin terjauh sekaligus detak jantung. Darah berhenti tulang merapuh. Senyuman tak mampu hadir secara apapun. Cinta sejati tak ada. Jika frekuensi dihentikan oleh inti hidup.
Keindahan ritus topeng lagenda suluk asmarandana, syair kinanti, serat centini. Tak 'kan hadir alegoris tradisi. Debur ombak lautan sekalipun Bimasena protes kepada Dewaruci, hingga, Rajadewa mengubah gunungan wiracarita gending pemuncak. Kalau cinta kasih, tak berkenan memberi gravitasi. Apa mau dikata.
Siapa sanggup membaca tanda tak terhingga tak pernah sirna. Senandika para semesta tak satupun mampu bersyair. Sesama pemilik keterbatasan nurani sebening apapun hadir sementara waktu. Sekadar pemeran tak pernah mampu sempurna.
***
Jakarta Kompasiana, Agustus 26, 2024.
Salam hari baik setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H