Mohon tunggu...
Taufan S. Chandranegara
Taufan S. Chandranegara Mohon Tunggu... Buruh - Gong Semangat

Kenek dan Supir Angkot

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Terpejam Amor Memerah

1 Agustus 2024   22:33 Diperbarui: 1 Agustus 2024   22:36 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa bilang senja selalu indah. Siapa bilang fajar menyingsing pertanda awal mula perjalanan. Apa iya benar begitu, tenan nee, okeh. Terpenting senantiasa belajar menjadi orang baik konon tak mudah loh; wajib melalui banyak hal. Entah apa maksud dari tujuan kalimat macam itu. Mungkin adendum imajinasi; bisa jadi tidak apapun dalam bentuk tak serupa apapun. Gong!

Wah, lantas maunya apa, bagaimana, mau kemana. Ke kandang singa atau ke kandang macan atau tidak sama sekali ke duanya. Nah. Oke deh kalau begitu. Mending mempertimbangkan; apa itu cintrong dalam arti luas hihihi belajar demokratis dikit boleh dong; jadi kalau anak kandung mau bertanya enggak ngumpet di kolong meja. Piye arep ngobrol cintrong jal, mau ditanya anaknya malah ra ka cak cak jer.

Cinta memang aneh, kata pemeo sih begitu, konon. Itu sebabnya pula berbeda jumlah huruf dengan cintrong. Kata cintrong lebih banyak dari jumlah huruf kata cinta, hihihi, walah terlanjur di baca ya wkwkwk, wong ini nulis iseng aja lah kok malah dibaca. Hahaha takut ada bisikan menggelitik ya takut di gelitikin ya hihihi santai gelitik menggelitik itu sehat.

Kalau kritik mengkritik ya itu maksudnya. Menggelitik kritik alias kritik menggelitik. Loh, itu sama persis alias pada bae, hahaha. Kalau cerdas menjawab tentu tidak malas dikritik untuk kembali mengkritisi kritik sebagai wawasan membumi benih tertanam suburlah kawasan bersama. Membuka jendela melihat dunia multiestetika.

Tak sekedar bobok manis di ranjang berenda deforestasi ehem. Eh halah langit pancawarna menyembul fajar  menulis senja illegal logging cepat tua pikun dilupakan bumi di pijak. Kalau alam senantiasa tak bergeming direbut keperawanannya. Bukan berarti menyerah; kalau masih percaya kekuatan mother nature bakal kilas balik laiknya seribu panah Srikandi.

Perang Kurusetra, membuncah amburadul oleh seribu panah Srikandi, membuat para lelaki ngumpet dibalik kekuatan pesona karismatiknya; termasuk Arjuna berlindung di balik punggung Srikandi. Di kancah perang tak berarti apapun itu, valid merugikan sesama saudara di antara mereka, ehem. Itu sebabnya pula anak kandung bertanya wajib dijawab maka bertemulah mata air kehidupan bermanfaat bagi sesama.

Benar sekali manusia aksara tak bertuan menyimpan beragam kata namun enggan bersuara. Apakah oleh sebab kata tak mampu menjadi susastra nurani. Sebaliknya nurani enggan menyampaikan kala susastra; sebab kata sembunyi di balik nurani atau sebaliknya atau di sebaliknya lagi; hati beku sebab ditinggal nurani jalan-jalan ke dunia fantasi. Jreng!

***

Jakarta Kompasiana, Agustus 1, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun