Mohon tunggu...
Gomgom Sinaga
Gomgom Sinaga Mohon Tunggu... -

Ketua BEM FE UGM 1998

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revolusi Mental sebagai Antitesis “Phenak Jamanku tho?”

13 Juni 2014   17:30 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:54 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revolusi Mental Sebagai Antitesis “Phenak Jamanku tho?”

Sebagai seorang yang terlahir dan menginjak dewasa di jaman Orde Baru, stiker ataupun kaos berisi tulisan “Piye kabare? Phenak Jamanku tho?”, menggelitik pengalaman masa lalu serta menggugah ingatan jaman ORBA. Slogan ini sering dijumpai dimana-mana, dari poster di belakang truk pasir sampai stiker di sebuah angkot. Tidak bisa dipungkiri, slogan tersebut seakan-akan membawa kita ke romantisme masa lalu, dimana segalanya lebih teratur (?), pemerintah kuat tanpa check and balances dari DPR, proyek-proyek pembangunan berjalan cepat tanpa kesulitan pembebasan tanah. Kelompok-kelompok radikal (baik kiri maupun kanan) dibungkam. Surat kabar mewartakan berita seragam tentang swasembada beras atau betapa hebatnya pemerintahan saat itu.

Memang jaman ORBA, segalanya lebih sederhana. Kita mendengarkan satu channel televisi (TVRI), satuversiberita, satu partai yang harus dipilih, serta satu interpretasi atas kebenaran. Segalanya lebih sederhana ketika pilihan adalah kemewahan. Namun apakah “kesatuan” dalam bentuk pemaksaan seperti itu yang kita butuhkan? Apakah harga dari keseragaman itu tidak terlalu mahal? Ingat bagaimana Gusdur dan NU diobok-obok? Ingat bagaimana HKBP diintervensi, ingat bagaimana PDI dihancurkan? Ingat bagaimana nasib Udin sang wartawan atau Marsinah sang buruh? Harga sebuah keseragaman harus dibayar dengan nyawa yang beda, atau kreatifitas sang seniman. Sebuah jaman yang menakutkan dan membosankan.

Saat ini, romantisme akan jaman itu dimunculkan kembali dengan mengagung-agungkan stabilitas. Kebanggaan menjadi sebuah bangsa yang ditakuti atau kekuatan sebuah ketegasan (kebrangasan?). Namun, saya memilih dinamika demokrasi atas stabilitas totalitarian. Saya memilih perbedaan atas keseragaman yang dipaksakan. Saya memilih kreatifitas atas penumpulan intelektualitas. Saya memilih kehormatan bangsa atas ketakutan negara tetangga. Saya berkata TIDAK atas ORBA dan apapun turunan dan titisannya.

Bahwa alam demokrasi kita saat ini jauh dari sempurna, saya setuju. Bahwa harga politik atas ratusan Pilkada, Pileg atau Pilpres sangat mahal?, betul. Bahwa pembangunan infrastruktur terhambat karena negosiasi harga tanah yang dicemari oleh cukong-cukong?, ada benarnya. Bahwa kemakmuran masih dinikmati segelintir elite?, ya. Tetapi, mari kita bandingkan dengan jaman ORBA. Demokrasi hanya kosmetik yang hampa. Sebenarnya rakyat tidak punya hak suara. Pilihan sudah ditentukan atau menghadapi intimidasi. Paling tidak saat ini, masyarakat turut bertanggung jawab atas pilihannya. Jika mereka memilih menerima serangan fajar untuk sengsara selama 5 tahun, itu juga pilihan. Bahwa mereka memilih orang-orang yang cacat moral dan berhati culas sebagai pemimpinnya, ya salah sendiri. Pembebasan tanah, walau berlarut-larut, paling tidak ganti untung. Jaman sekarang dari perabotan sampai tanaman dihitung dan harus diganti pemerintah. Jaman ORBA? jangankan ganti rugi, nyawa tidak melayang saja sudah syukur. Kemakmuran jaman ORBA hanya dinikmati Pemerintah dan kroni-nya. Saat ini, setidak-tidaknya kemakmuran sudah menetes ke daerah. Menembus dinding yang dulu hanya dinikmati kaum birokrat. Bayangkan, saat ini Indonesia punya 50 juta kelas menengah dengan disposable income dari 2-20 USD. Mal-mal atau bandara selalu penuh sesak saat weekend, wisatawan domestik sudah mengalahkan turis asing. Jadi apa salahnya jaman sekarang?

Jaman sekarang lebih baik dari jaman ORBA, bukan berarti pemerintahan yang sekarang sudah sempurna. Bahkan bisa dikatakan, kemajuan ekonomi bangsa selama 10 tahun belakangan ini lebih diakibatkan oleh usaha dan ikhtiar anak bangsa untuk terlepas dari kemiskinan dari pada uluran tangan pemerintah untuk menolong. Jadi keuletan dan kerja keras pelaku ekonomi dalam negeri menjadi kata kunci keberhasilan ekonomi Indonesia saat ini.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana Indonesia ke depan? Warisan ORBA yang paling merusak menurut saya adalah budaya materialistis dan hedonis yang sudah menjalar keseluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Lihatlah resepsi pernikahan di desa-desa. Sang empunya hajatan akan merasa rendah bila tidak ada panggung dangdut mengiringi pengantin. Calon menantu dinilai dari kekayaan yang dimiliki orang tuanya bukan kualitas dan perilaku sang calon. Tokoh masyarakat diangkat dari orang-orang yang suka menyumbang atau dermawan (walau dari hasil korupsi), bukan dari relawan yang bekerja tulus buat komunitas. Pertemanan direkatkan oleh uang dan pemberian, bukan ketulusan.

Semua ini memaksa manusia Indonesia harus mempunya materi yang cukup (bahkan harus berlebih) agar diterima di masyarakat. Akibatnya, orang melakukan segala cara untuk mendapatkan kekayaan. Korupsi, penipuan, bisnis akal-akalan, apa saja halal asal hasilnya cepat kelihatan. Idealisme mati diperdagangkan, nurani rabun oleh uang. Jati diri kita sebagai bangsa dinilai dari seberapa banyak harta yang kita miliki, bukan atas keteguhan memegang prinsip dan nilai-nilai kebenaran universal.

Tentu saja ini tidak semata-mata warisan ORBA, budaya materialistis itu adalah turunan budaya kapitalisme barat yang diperparah oleh feodalisme dan kroniisme ORBA. Selama 32 tahun plus 16 tahun reformasi, budaya itu semakin melekat bahkan sudah masuk ke sum-sum tulang kita. Untuk merubahnya, dibutuhkan sebuah REVOLUSI MENTAL.

REVOLUSI MENTAL, adalah perubahan cara pandang atas diri sendiri dan dunia sekitar. Membiasakan melihat hakikat bukan kulit. Melihat sesuatu sesuai fitrah dan jati diri-nya, bukan apa yang dia punya. Menghargai kesederhanaan bukan kemewahan yang berlebihan. Mengagungkan kejujuran, bukan kemunafikan. Mencintai kebersahajaan, bukan kekurangajaran. Mengajarkan empati bukan antipati.

REVOLUSI MENTAL, sebuah proses mencari jati diri. Manusia Indonesia selayaknya mengerti sejarah untuk membangun akan masa depan, bukan bangsa yang tergulung oleh arus trend kekinian atau gelombang kemunafikan.

REVOLUSI MENTAL adalah kejujuran dan kesederhanaan, REVOLUSI MENTAL adalah KITA.

SELAMAT UNTUK INDONESIA HEBAT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun