Untuk seorang perantau seperti saya ini, pulang kampung adalah hal yang menyenangkan. Berdesak-desakan di kereta api Progo, merasakan liarnya keringat-keringat penumpang dan kemudian sampai di Jogja disambut bocah-bocah dekil yang mulai beranjak puber. Sungguh menyenangkan.
Di kota yang saya bilang busuk ini, Jakarta, perantau bertebaran di sana-sini. Kos saya saja menampung perantau yang kebanyakan berasal dari Jogjakarta dan Tegal. Mulai dari PNS sampai dengan tukang jualan es "abal-abal" di Monas, semua ada di kosan saya. Tujuan mereka juga sama, "ngangsu duit sebanyak mungkin"
Sebagai seorang perantau yang sudah tiga tahunan tinggal di Jakarta, cuti-pulang kampung adalah hal yang menggiurkan sekaligus mengerikan. Menggiurkan karena bisa bertemu dengan saudara, teman atau istri. Mengerikan karena harus siap-siap dengan bermacam pertanyaan dari tetangga-tetangga yang merayu agar anaknya bisa diajak serta ke Jakarta.
Beberepa hari yang lalu (21/23) saya memutuskan cuti, pulang ke sudut paling selatan di Jogja, sekedar menentramkan penat setelah setahun "ngangsu duit" di Jakarta. Sungguh menyenangkan bisa bertemu beberapa kawan, saudara dan kedua simbah saya yang sudah sepuh.
Jauh dari keluarga memang membuat perantau-perantau, termasuk saya, merasa terbebani. Terbebani karena merasa menjadi pekerja kantoran yang harus siap dianggap "sukses", padahal hancur abis. Terbebani karena harus menanggapi pertanyaan-pertanyaan "kapan kamu kawin?". Terbebani karena setiap lebaran saya "diwajibkan" menyediakan recehan sepuluh ribuan untuk ponakan-ponakan. Aghhh, semua serba terbebani.
Jakarta, 27072010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H