Malam. Sampai sekarang saya masih menikmati menulis di saat malam. Saya sendiri tidak tahu mengapa malam begitu menyenangkan untuk saya jadikan sahabat, eh, kekasih. Entah karena identitas gelapnya sehingga saya bebas untuk bergerak tanpa satupun sepasang mata yang mencoba mengintip, menipu dan mengelabui saya.
Jika diharuskan untuk memilih siapa seseorang yang begitu sangat ingin saya ajak bercinta, saya memilih malam. Bercinta dengan malam seperti bercinta dengan variabel yang lengkap. Malam memberikan anugerah untuk menentukan langkah, menentukan kebebasan. Buta tidak buta tidak ada beda, karena semua sama. Hitam, gelap dan pekat. Kecenderungan seseorang menikmati siang bagi saya adalah basi. Menikmati siang sama saja menikmati sayur tanpa ajinomoto. Biasa-biasa saja.
Dulu, sebenarnya saya tidak pernah berminat menjalani hidup bersama malam. Malam, bagi saya, hanya seperti perjalanan yang terbuang, membuat bimbang, hanya membuang-buang waktu saja. Namun, setelah saya mulai berlama-lama menghabiskan waktu bersama malam, ada sesuatu yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Malam, seperti meninggalkan berkas, saya katakana noda, yang sulit saya bersihkan. Selalu saja meninggalkan jejak. Kepergian malam menjadi hal yang menyakitkan. Ada sesuatu yang belum saya lakukan malam lalu, maka malam berikutnya saya harus bisa melakukannya. Terus begitu. Kemudian saya coba meraba-raba, apa yang sebenarnya terjadi antara saya dan malam. Benarkah malam-malam yang lalu saya telah benar-benar bercinta dengan malam atau sekedar memeluknya saja? Sehingga saya benar-benar ketagihan untuk menikmati malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H