Di pojok gelap, bawah pohon jambu, sepetak kamar berdiri dengan muram. Satu dua buah jambu jatuh menggertak genteng. Sunyi.
Penghuninya seorang perempuan tua, berumur 60-an. Entah sudah berapa lama ia tinggal di rumah - atau bisa saya sebut gubuk itu. Ia tinggal bersama lima kucing yang rajin mengeong saban hari karena terus-terusan dirundung lapar seperti dirinya. Profesinya sederhana, pemulung.
Tengah malam itu saya beranikan diri nongkrong di teras kamar, lalu mengepulkan sejumput asap dan menikmati kopi. Sembari mengejapkan mata, saya liat sekeliling kamar, sepi, semua sudah lelap bersama bantal atau mungkin mimpi-mimpi joroknya. Mata saya kemudian sedikit kaget. Perempuan tua yang tinggal di gubuk itu ternyata masih duduk manis menghadap ke arah yang berlawanan dengan saya. Di pangkuannya, si kucing dengan rapuh nglendot tanpa bersuara.
Lalu tiba-tiba, "asu, kowe. diopeni kawit cilik malah nyokot..." perempuan tua itu marah, lalu tangannya dengan sigap melemparkan si kucing rapuh tadi ke tumpukan kayu di pojok kamarnya.
Sejurus kemudian, pintu-pintu kamar terbuka. Empunya kos, si tukang adu ayam, si pns-pns, si India aduhai, semua bangun sambil mengucek mata.
"Ono opo to, mak. bengi-bengi ngene kok nggawe suoro. wes, to, kucingmu kuwi diguwak wae neng Ciliwung. Ben modar. Sampean kuwi wes tuwo. Ngurus uripe dewe wae susahe ra umum, isih ngurusi kucing," empunya kos bersungut-sungut.
Perempuan tua itu hanya diam, lalu membalikkan badannya yang bungkuk masuk ke kamar. Mungkin meratap atau merenung menyesali diri telah melempar si kucing rapuh tadi.
Saya hanya melongo.
--"--
Silih berganti penghuni-penghuni baru datang, silih berganti pula lembaran 50 ribuan berpindah tangan ke perempuan tua itu. "Jatah 2,5 persen dari gaji", begitu kata teman saya.
Saya dan jutaan perantau lainnya tinggal di kota yang makin padat, menghimpit dan menuntut. Kota yang terus menuntut agar selalu taat. Oh, perempuan tua.