Sebagai penghuni Jakarta, selayaknya kita kembali mengingat motto kota kita ini, yakni, Teguh Beriman yang dicanangkan oleh mantan Gubernur Jakarta, Soerjadi Soedirja. Sayangnya, sejak beliau mangkat dari kepemimpinan gubernurnya di Jakarta pada tahun 1997, motto yang ia gagaskan ini pun seakan turut mangkat. Seiring dengan berjalannya waktu, papan-papan Teguh Beriman pun menjadi slogan tak bermakna yang berdebu dan bahkan tertutup rimbunnya pohon atau gedung-gedung bertingkat.
Dengan hadirnya tangan dingin Jokowi-Ahok, saya ingin mengajak setiap kita untuk kembali menilik Teguh Beriman.
Apa itu Teguh Beriman? Jujur saya dulu mempelajarinya pada masa sekolah namun telah terhapus tak bersisa dari pikiran saya. Saya pun harus mengingatnya kembali sebagai, “Teruskan Gerakan untuk Hidup Bersih dan Aman.”
Slogan ini memiliki makna harafiah maupun makna tersirat. Teguh Beriman berarti memiliki pendirian kokoh pada hal yang dianggap benar sesuai moral maupun etika. “Teruskan Gerakan untuk Hidup Bersih dan Aman” mengajak setiap warga Jakarta untuk hidup bersih dan aman, yang mencakup banyak sekali aspek dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai warga Jakarta.
Jakarta Bersih dimulai dari hidup bersih masing-masing warganya. Buanglah sampah pada tempatnya. Jika tidak mendapati tempat sampah, simpanlah sementara dengan tisu, koran, plastik atau apa pun hingga Anda menemukan tempat sampah untuk membuangnya.
Jangan membuang sampah pada area-area ini –yang seringkali dianggap sebagai tempat sampah cadangan: jalan raya, got, kali, sungai, kantong duduk kendaraan (umum), guci/vas pajangan, bawah meja makan, pojokan, kakus, rumput, laut, dan sebagainya. Tempat sampah adalah area yang jelas diperuntukkan sebagai tempah pembuangan barang tidak terpakai atau sampah.
Dan berpartisipasilah secara aktif. Jika Anda menemukan sampah tidak pada tempatnya, bantulah membuangnya karena petugas kebersihan jalan bukanlah superman yang bisa menyulap seluruh Jakarta menjadi bersih mengkilat. Setidaknya Anda bisa melaporkan kondisi tidak bersih tersebut kepada petugas kebersihan terdekat.
Sedangkan rasa aman bisa dimulai dari keteraturan. Sama dengan anak kecil yang lebih merasa aman jika memiliki keteraturan dalam hidup sehari-harinya, demikian juga dengan kita.
Mulailah dari hal kecil seperti mengantri dengan tertib. Mereka yang datang duluan berhak untuk dilayani atau menggunakan fasilitas terlebih dahulu. Jika Anda tidak yakin dengan garis antriannya, Anda bisa bertanya dengan orang sekitar yang tampak mengantri agar Anda tidak dianggap sengaja menyelak padahal Anda hanya sekedar tidak tahu. Etika yang sama berlaku pada antrian kendaraan.
Dan hal kecil lainnya adalah patuhi peraturan lalu lintas. Jangan masuk ke jalur busway, semacet apa pun. Jangan melanggar lampu merah. Jangan berhenti di sembarang tempat yang akan mengganggu arus lalu lintas. Jangan sengaja menerobos masuk area 3-in-1 saat Anda tidak bertiga dalam satu kendaraan. Jangan menyetir lebih lambat dari mobil di sebelah kiri Anda karena jalur kanan adalah untuk jalur cepat dan mendahului. Menyingkirlah saat ada mobil-mobil khusus terutama ambulans, mobil rumah duka, atau mobil polisi tanpa mempertanyakan apa yang terjadi. Jangan berhenti dan melambat untuk menonton kejadian karena akan semakin memperlambat penanganan petugas di area lokasi tersebut. Berjalanlah pada lajur kiri. Jangan menyetir motor di area pejalan kaki. Pakailah helm. Gunakan lampu sen jika ingin pindah jalur dan berbelok.
Marilah kita turut andil dalam membangun Jakarta ke arah yang lebih baik. Jokowi-Ahok membutuhkan dukungan dan bantuan dari setiap warga Jakarta. Inilah saatnya turun tangan, bukan melipat tangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H