Tetapi kita juga tidak dapat menutup mata bahwa ada pula pihak-pihak yang berusaha memecah-belah persatuan Indonesia dengan senjata bervariasi. Entah dengan senjata perbedaan suku/ras, perbedaan agama, status sosial atau ekonomi, bahkan dengan senjata perbedaan pilihan (politik). Atau yang paling aneh adalah pecahnya persatuan karena perbedaan klub olahraga, yang tidak jarang berakhir tragis.
Sila keempat juga menyesakkan karena dilaksanakan secara parsial lalu dibelokkan menjadi "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Kepentingan Pribadi/Golongan dalam Permusyawaratan/Perwakilan." Jika MPR/DPR diarahkan oleh hikmat/kebijaksanaan, maka mereka akan ingat bahwa apapun pemikiran yang dimiliki harus didasarkan pada kepentingan masyarakat Indonesia secara umum, terlepas dari partai politik atau golongan si wakil rakyat.
Tetapi terdapat pula pelita-pelita kecil dari beberapa pasangan kolega yang ber-Bhinneka Tunggal Ika: berbeda-beda tetapi tetap satu. Salah satu contohnya adalah pasangan gubernur/wakil gubernur DKI Jakarta saat ini yang datang dari partai politik berbeda, tetapi begitu dilantik, mereka berubah dari kader politik menjadi perangkat masyarakat DKI Jakarta yang saling mendukung satu sama lain untuk kepentingan DKI Jakarta. Bahkan saya (dan beberapa orang lainnya) terkadang lupa bahwa mereka datang dari dua golongan berbeda.
Keadilan sosial di sila kelima tentu saja sulit dilihat tanpa sesak dada. Masih banyak saudara kita yang tidak hidup layak. Di beberapa daerah bahkan penduduk sulit memenuhi kebutuhan dasar: sandang, pangan, papan (dan kesehatan). Perputaran ekonomi terpusat hanya di beberapa kota besar, sehingga menyedot banyak penduduk dari kota lain ke pusaran maut tersebut dan akhirnya berakhir buruk karena mereka tidak siap menghadapi kerasnya kota-kota besar. Akhirnya kesenjangan sosial yang menganga tidak hanya terjadi antara penduduk kota besar dan penduduk kota kecil, tetapi juga terjadi antara penduduk kota besar yang hidup (sangat) layak dan penduduk kota besar yang hidup (sangat) tidak layak.
Sumbangan dan aksi sosial yang seharusnya merupakan panggilan hati setiap orang untuk melakukannya setiap saat pun menjadi aksi yang ditunggangi kepentingan tertentu. Tiba-tiba "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" menjadi riil menjelang Pilkada, Pemilu, dan pemilihan-pemilihan lainnya. Saat pemilihan tidak berjalan sesuai hati, "keadilan sosial" tersebut ditagih kembali.
Kemanakah Pancasilaku? Kemanakah Pancasila kita bersama? Tak mampukah kita untuk setidaknya berusaha mendekati asas Pancasila, walaupun tidak dapat melakukannya secara sempurna?
Kemanakah negara kita akan pergi tanpa Pancasila sebagai acuan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H